Memilih Bersyukur di Tengah Keterbatasan

Lenyapkan Stroke (jefstarcom@gmail.com)
0

 


Memilih Bersyukur di Tengah Keterbatasan

1. Awal yang Tak Pernah Terduga

Pernahkah kamu terbangun pada suatu pagi dan menyadari bahwa tubuhmu tak lagi merespon seperti biasanya? Bahwa tangan yang dulu lincah kini kaku? Bahwa langkah-langkahmu harus digantikan oleh kursi roda, atau bahwa berbicara menjadi sebuah perjuangan kecil yang butuh tenaga besar?

Saya pernah. Tepatnya, saya sedang berada dalam fase itu sekarang. Fase pemulihan setelah stroke yang datang diam-diam, seperti pencuri malam hari. Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi perubahan hidup seperti ini. Saya pun tidak. Tapi, di tengah keterbatasan yang nyata, saya belajar satu hal yang dulu hanya menjadi teori: bersyukur.

Bersyukur, bukan karena semuanya baik-baik saja. Tapi karena, di balik yang tampak runtuh, ternyata masih ada hal-hal kecil yang tetap berdiri.


2. Apa Itu Bersyukur, Sebenarnya?

Bersyukur bukan tentang menutup mata terhadap rasa sakit atau pura-pura bahagia. Bersyukur adalah keberanian untuk tetap melihat cahaya ketika dunia seperti gelap. Ia adalah keputusan sadar untuk berkata, “Aku masih punya sesuatu,” bahkan ketika yang lain berkata, “Kamu sudah kehilangan banyak.”

Dulu, saya pikir bersyukur hanya cocok untuk orang-orang yang hidupnya nyaman. Yang sehat, punya uang, dihormati, dan tidak perlu khawatir soal esok. Tapi setelah tubuh saya “dipaksa berhenti,” saya justru mulai mengerti makna yang lebih dalam.

Di tempat tidur pemulihan, saya belajar menghitung ulang. Bukan uang atau pencapaian, tapi detak jantung, napas yang tenang, dan orang-orang yang masih peduli walau saya tak bisa memberi apa-apa.


3. Keterbatasan Mengajarkan Kejujuran

Saya tidak sedang berusaha romantisasi sakit. Tidak ada yang menyenangkan dari rasa nyeri yang tak kunjung pergi, atau frustasi saat mencoba bicara dan lidah tak mau menurut. Tapi keterbatasan mengajarkan saya untuk jujur.

Jujur pada diri sendiri: bahwa saya lemah, bahwa saya butuh bantuan, bahwa saya takut. Dulu saya ingin terlihat kuat di hadapan semua orang. Tapi sekarang, saya mulai menerima bahwa menjadi manusia bukan tentang selalu menang. Kadang, justru dalam kalah kita bisa benar-benar hidup.

Ketika saya mulai jujur pada diri sendiri, saya jadi lebih bisa menerima kenyataan. Dan saat saya menerima, saya mulai melihat: ternyata dalam keterbatasan, ada ruang untuk tumbuh. Ada ruang untuk bersyukur, meski sederhana.


4. Bersyukur Itu Latihan, Bukan Bakat

Sering kali kita berpikir, “Aku bukan tipe orang yang bisa bersyukur, apalagi saat semuanya susah.” Tapi bersyukur itu bukan soal tipe. Ia adalah latihan, seperti otot yang dikuatkan hari demi hari.

Saya mulai dari hal paling kecil. Setiap pagi, saya mencoba menyebut tiga hal yang masih bisa saya nikmati. Kadang cuma sinar matahari yang masuk dari sela jendela, senyum cucu yang datang menjenguk, atau rasa manis teh hangat.

Kecil? Ya. Tapi justru karena kecil, kita sering lupa. Dan ketika mulai mengingatnya, saya menyadari betapa banyaknya kebaikan yang tak pernah saya hitung sebelumnya.

Bersyukur juga membuat saya lebih tahan terhadap rasa kecewa. Bukan karena saya tidak merasakannya, tapi karena saya tahu: rasa kecewa pun tidak abadi. Dan setiap kali saya mampu melewatinya, saya menemukan versi diri saya yang lebih kuat dari sebelumnya.


5. Keterbatasan Membuka Mata Terhadap Orang Lain

Sakit membuat saya pelan. Tapi dalam kepelanan itu, saya jadi lebih bisa melihat orang lain.

Dulu, saat saya masih aktif bekerja, segala sesuatu terasa cepat. Saya terlalu sibuk dengan rencana, target, dan urusan yang tak habis-habis. Tapi sekarang, saya punya waktu untuk menatap wajah perawat yang menyeka keringat saya, mendengarkan istri saya bercerita tentang kebun, atau meresapi pelukan cucu yang tulus tanpa syarat.

Saya menyadari: begitu banyak cinta yang tidak saya sadari karena terlalu sibuk mengejar hal-hal lain. Kini, saya bisa menikmatinya. Dan itu tidak kalah berharga dari sembuhnya tubuh saya.

Saya juga lebih mudah terhubung dengan orang-orang yang dulu saya anggap “berbeda.” Teman-teman penyintas stroke lain, orang tua yang tinggal sendiri, bahkan orang-orang yang sering saya lihat duduk diam di pinggir jalan. Kita punya sesuatu yang sama: keterbatasan. Dan dari sana, lahirlah empati.


6. Ketika Dunia Tidak Berubah, Kita Masih Bisa Memilih Sikap

Kadang saya masih marah. Kadang saya iri melihat orang lain bisa berjalan bebas. Kadang saya menangis diam-diam, bertanya kenapa semua ini harus terjadi pada saya. Tapi setelah semua emosi itu selesai, saya kembali pada satu titik yang menjadi pegangan: saya masih bisa memilih bagaimana saya merespon hidup ini.

Bersyukur bukanlah bentuk kepasrahan yang buta. Justru ia adalah keberanian. Berani berkata: “Aku akan tetap mengucap terima kasih, bahkan ketika hariku tidak sempurna.”

Bersyukur tidak menghapus rasa sakit, tapi ia memberikan makna. Dan makna itulah yang membuat saya tetap ingin bangun setiap hari, tetap ingin mencoba, dan tetap ingin hidup — meski dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.


7. Menemukan Makna Baru dalam Hidup yang Terbatas

Saya mulai percaya bahwa keterbatasan bukan akhir dari segalanya. Ia mungkin akhir dari satu cara hidup, tapi bukan akhir dari hidup itu sendiri.

Saya memang tak lagi bisa melakukan banyak hal yang dulu saya anggap penting. Tapi saya bisa mendengarkan, saya bisa mencintai, saya bisa menulis, dan saya bisa berbagi.

Dulu, saya berpikir bahwa hidup bermakna kalau saya bisa memberi hasil yang besar. Sekarang saya tahu, hidup tetap bermakna meski hanya bisa memberi kehadiran, senyuman, atau kata-kata yang menguatkan.

Dan justru dari tempat ini—tempat yang dianggap paling “lemah”—saya menemukan kekuatan yang sebenarnya. Kekuatan untuk tetap hidup dengan damai, untuk tetap menyemangati diri sendiri, dan untuk terus menyemai kebaikan semampu yang saya bisa.


8. Bersyukur Membuka Pintu Harapan

Saat saya memilih untuk bersyukur, saya tidak sedang menyangkal realitas. Saya sedang mengajak diri saya untuk melihat bahwa di balik kekurangan, masih ada harapan. Dan harapan itu bukan sesuatu yang harus besar dan heboh. Ia bisa sekecil rasa damai dalam hati, atau keyakinan bahwa esok akan lebih baik.

Bersyukur juga membuat saya lebih ringan. Beban fisik saya memang tidak berubah, tapi beban hati saya jauh berkurang. Saya tidak lagi merasa perlu membuktikan apa-apa. Saya hanya ingin menjalani hari demi hari dengan kesadaran dan rasa terima kasih.

Mungkin itulah bentuk kebebasan yang sebenarnya: ketika kita tidak lagi dikendalikan oleh apa yang hilang, tapi dipandu oleh apa yang masih ada.


9. Untuk Kamu yang Sedang Berjuang

Jika kamu sedang berada dalam masa sulit, saya tidak akan menyuruhmu untuk “tetap positif” atau “jangan menyerah” dengan nada yang kosong. Saya hanya ingin berkata: kamu tidak sendiri.

Rasa sakit, kehilangan, kecewa, dan marah adalah bagian dari hidup. Tapi kamu masih punya pilihan. Pilihan untuk melihat sekeliling, untuk menyadari bahwa masih ada yang patut disyukuri.

Mulailah dari yang kecil. Bahkan dari detak jantungmu yang masih berdetak sekarang, atau napas yang masih mengalir pelan. Karena dari hal kecil itulah, rasa syukur bisa tumbuh. Dan dari rasa syukur itulah, harapan bisa hidup kembali.


10. Kesimpulan: Rasa Syukur Bukan Akhir, Tapi Awal Baru

Bersyukur di tengah keterbatasan bukan akhir dari cerita. Ia justru bisa menjadi awal yang baru. Awal dari hidup yang lebih jujur, lebih hadir, dan lebih bermakna.

Saya tidak tahu ke mana hidup saya akan melangkah setelah ini. Tapi saya tahu satu hal: selama saya masih bisa memilih untuk bersyukur, maka saya masih bisa hidup sepenuhnya.

Dan itu cukup.


Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke, Jeffrie Gerry.


DOA YANG LAHIR DI TENGAH KETERBATASAN
(Monolog Pribadi Pasca Stroke – oleh Jeffrie Gerry)


Tuhan...

Aku menulis dari dalam tubuh yang tak lagi seperti dulu,
yang bangun pagi dengan rasa berat di ujung jemari,
yang harus memanggil bantuan hanya untuk sekadar duduk.

Tuhan,
aku tidak datang dengan permintaan besar hari ini.
Tidak meminta-Mu segera mengubah nasib atau menyembuhkan luka secara ajaib.
Aku hanya ingin bicara… dengan suara yang mungkin pelan,
tapi tulus, dan datang dari kedalaman yang belum pernah kusentuh sebelumnya.

Dulu aku kuat.
Atau setidaknya aku merasa begitu.
Aku berjalan tanpa berpikir,
berlari mengejar waktu,
berdiri tegak di antara urusan dunia yang tak pernah habis.
Tapi sekarang,
semua melambat.

Tanganku gemetar,
kakiku kadang seperti lupa caranya bergerak,
dan jujur saja,
aku sering menangis diam-diam,
karena merasa menjadi beban bagi orang lain.

Namun, di situlah aku mulai belajar…
tentang satu hal yang dulu hanya kupahami sebagai teori:
syukur.


Tuhan,

Apa arti bersyukur ketika lidah tak bisa lagi bicara dengan jelas?
Ketika tangan tak bisa lagi menyuap makanan sendiri?
Ketika semua harus dibantu?
Apakah syukur itu masih mungkin, Tuhan?

Ternyata, ya.
Bersyukur bukan untuk mereka yang hidupnya nyaman,
tapi justru bagi mereka yang tahu bagaimana hidup bisa berubah,
dan tetap memilih untuk melihat cahaya.

Aku mulai menghitung ulang harta yang kupunya:
Satu—napas ini, yang tetap mengalir meski tak kusadari.
Dua—keluarga yang masih mau mendengar ceritaku,
walau kalimatku patah-patah dan kadang harus diulang dua tiga kali.
Tiga—matahari yang setia menyapa jendela tiap pagi,
menghibur hati yang semalamnya nyaris putus harapan.


Tuhan,

Aku tidak ingin pura-pura kuat.
Karena kenyataannya aku lemah.
Dan aku takut.
Takut kehilangan segalanya,
takut dilupakan,
takut tak pernah kembali seperti dulu lagi.

Tapi dalam ketakutan itu,
aku belajar mengenal Engkau dengan cara baru.
Engkau yang tak datang dengan gemuruh,
tapi lewat tangan perawat yang sabar memapah,
lewat senyum istri yang tak pernah meninggalkanku,
lewat doa anakku yang lirih tapi tulus.

Di situlah aku tahu,
Engkau masih ada.


Tuhan,

Aku pernah mengira hidup itu hanya tentang menjadi berguna,
produktif,
berdampak.
Tapi ketika aku tak bisa lagi bekerja seperti dulu,
ketika aku hanya bisa duduk dan diam,
aku sempat bertanya,
"Masihkah hidupku bermakna?"

Dan Kau jawab, pelan,
dalam hening:
“Ya. Karena kau masih mencintai. Masih belajar. Masih hidup.”

Ternyata makna hidup tidak hanya ada dalam kerja,
tapi dalam kehadiran.
Dalam tatapan mata, dalam pelukan,
dalam kalimat sederhana: “Aku di sini bersamamu.”


Tuhan,

Aku tidak ingin membandingkan hidupku dengan orang lain.
Aku tidak ingin iri pada mereka yang bisa berlari,
karena aku mulai menikmati langkahku yang pelan.

Dengan langkah pelan ini,
aku bisa menatap bunga yang selama ini kulalui begitu saja,
mendengar suara burung yang entah sejak kapan tinggal di pohon depan rumah,
dan merenungkan,
betapa cepat dulu aku menjalani hidup tanpa benar-benar hadir.

Kini, aku hadir.
Benar-benar hadir.
Dalam setiap detik.
Dalam setiap gerakan kecil.
Dalam setiap tarikan napas.


Tuhan,

Bersyukur ini berat, tapi aku ingin terus belajar.
Meski kadang aku jatuh dan merintih,
meski kadang aku mengeluh,
aku tidak akan berhenti mencari cahaya-Mu.

Aku percaya,
Engkau tidak hanya hadir dalam kesembuhan,
tapi juga dalam prosesnya.

Mungkin aku belum sembuh sepenuhnya,
tapi aku sedang dipulihkan dari dalam.
Bukan hanya tubuhku,
tapi juga hatiku.


Tuhan,

Jika aku harus hidup dengan keterbatasan ini lebih lama,
ajarkan aku untuk tetap memilih bahagia.
Bahagia dengan cara sederhana:
tersenyum untuk hari ini,
memaafkan diriku sendiri,
tidak terburu-buru,
dan membiarkan kasih sayang mengalir tanpa syarat.

Ajarkan aku untuk melihat mereka yang juga sedang berjuang,
agar aku tidak merasa sendiri.
Ajarkan aku untuk mengulurkan tangan,
meski pelan,
meski tak sempurna.


Tuhan,

Aku tidak tahu berapa lama proses ini akan berlangsung.
Tapi selama aku masih hidup,
aku ingin hidup dengan penuh.
Bukan dengan tubuh yang sempurna,
tapi dengan hati yang utuh.

Bersyukur karena masih diberi kesempatan.
Kesempatan untuk mencinta,
untuk belajar,
untuk membagikan cerita ini
kepada siapa pun yang sedang merasa sendirian dalam keterbatasannya.


Tuhan,

Jika suatu hari nanti aku kembali kuat,
biarlah aku tidak lupa pelajaran dari saat-saat ini.
Pelajaran tentang menerima,
tentang rendah hati,
tentang kehadiran-Mu yang lembut tapi nyata.

Dan jika aku tidak pernah kembali seperti dulu,
ajarkan aku untuk berdamai.
Untuk tetap bersyukur.
Untuk tetap bersinar,
meski dalam keterbatasan.


Tuhan…

Terima kasih karena aku masih bisa menulis doa ini.
Terima kasih karena Engkau masih mendengarkan,
meski aku tak selalu fasih berbicara.

Terima kasih atas kehidupan ini—
yang meski retak,
tetap indah dalam cahaya kasih-Mu.

Aku tidak akan menyerah.
Karena bersama-Mu,
aku tidak pernah benar-benar sendiri.

Amin.


Puisi doa ini ditulis oleh Jeffrie Gerry, dalam proses pemulihan pasca stroke. Ia lahir dari keheningan, keterbatasan, dan pilihan untuk bersyukur.
Semoga menjadi pelipur dan penguat bagi siapa pun yang sedang berjuang dalam diam.

Post a Comment

0 Comments

💬 Pesan untuk Pembaca yang Budiman:
Terima kasih telah berkunjung ke blog Lenyapkan Stroke.

Jika Anda memiliki pengalaman, pertanyaan, atau sekadar ingin berbagi semangat dan dukungan, silakan tinggalkan komentar Anda di bawah.

Setiap kata dari Anda sangat berarti — bukan hanya untuk penulis, tapi juga untuk sesama pembaca yang mungkin sedang melalui perjuangan yang sama.

Mari saling menguatkan, saling belajar, dan terus menyebarkan harapan.
Komentar yang sopan, jujur, dan membangun sangat kami hargai.

Salam hangat dan sehat selalu,
Jeffrie Gerry
Penulis & Penyintas Stroke

Post a Comment (0)
3/related/default