Mengapa Saya Tak Lagi Anggap Enteng Kesehatan

Lenyapkan Stroke (jefstarcom@gmail.com)
0

 



Mengapa Saya Tak Lagi Anggap Enteng Kesehatan

1. Awalnya Hanya Rasa Pusing Biasa

Saya masih ingat pagi itu. Matahari bersinar cerah, udara tidak terlalu panas, dan saya merasa cukup baik untuk mulai hari seperti biasa. Tidak ada firasat buruk. Tidak ada tanda bahwa hidup saya akan berubah drastis hanya dalam hitungan jam. Saya hanya merasa agak pusing. Sepele, pikir saya. Mungkin kurang tidur, atau kebanyakan kerja malam.

Saya bangkit, cuci muka, mencoba melawan rasa lemas dengan meneguk kopi. Seperti biasa. Tapi pagi itu tidak biasa. Tubuh saya mendadak berat sebelah. Kaki kanan sulit digerakkan. Tangan terasa lemas. Lidah mulai cadel. Semua terjadi begitu cepat. Panik itu datang terlambat, karena saya masih berusaha "tegar", mengira semua akan berlalu.

Tapi tubuh punya bahasa sendiri. Dan pagi itu, ia sedang berteriak. Saya terkena stroke.

2. Pelajaran Pertama: Tubuh Tak Bisa Dibohongi

Saya selalu merasa cukup sehat. Tidak pernah merokok. Jarang minum soda. Sesekali makan gorengan, ya, tapi tidak berlebihan. Saya pikir gaya hidup saya lumayan baik, apalagi saya bukan orang yang suka begadang tiap malam. Tapi ternyata, kesehatan itu bukan hanya tentang apa yang kita hindari, melainkan juga tentang apa yang tidak kita perhatikan.

Saya tidak pernah benar-benar mendengarkan tubuh saya.

Saya cuek saat tensi mulai naik. Saya anggap enteng saat kepala sering berat dan sulit fokus. Saya pikir, ini hanya bagian dari “usia” atau “banyak pikiran.” Ternyata, itu semua adalah peringatan.

Tubuh tidak pernah bohong. Ia hanya sering kita abaikan.

3. Waktu Jadi Lambat di Ruang Rawat

Berhari-hari saya di ruang rawat, mendengarkan bunyi mesin, melihat langit dari jendela rumah sakit, dan bertanya-tanya, “Apa saya akan bisa berjalan lagi?” Saya tidak takut mati saat itu. Yang saya takutkan adalah hidup tanpa bisa melakukan apa-apa.

Kesehatan, yang dulu saya anggap remeh, kini jadi harta paling mahal. Saya menangis bukan karena sakit fisik. Saya menangis karena sadar, saya sudah terlalu lama tidak menghargai tubuh yang selama ini setia bekerja untuk saya.

Saya ingat saat bisa mengangkat sendok lagi dengan tangan kanan. Tangan yang dulu lincah mengetik, kini harus belajar dari nol. Rasanya seperti anak kecil yang belajar makan untuk pertama kalinya.

Dan momen itu, sesederhana apapun, membuat saya sadar: Kesehatan itu bukan sekadar tidak sakit. Kesehatan adalah kemampuan kita untuk hadir penuh dalam hidup.

4. Pelajaran Kedua: Kesehatan Bukan Sekadar Medis

Setelah keluar dari rumah sakit, perjalanan belum selesai. Saya masuk ke masa pemulihan. Fisioterapi, obat rutin, dan—yang paling menantang—perubahan pola pikir.

Dulu saya pikir, menjaga kesehatan itu soal makan sayur, olahraga, dan tidak merokok. Tapi ternyata lebih dalam dari itu. Kesehatan juga soal hubungan kita dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan Tuhan.

Saya mulai sadar, stres yang lama dipendam, marah yang tidak terselesaikan, dan rasa bersalah yang tidak pernah diakui—semua itu ikut melemahkan tubuh. Kita adalah satu kesatuan: tubuh, jiwa, dan roh.

Kalau salah satu rusak, yang lain ikut roboh.

Saya mulai belajar menerima. Memaafkan. Bersyukur untuk hal-hal kecil. Saya mulai mengucapkan terima kasih setiap kali bisa berjalan lebih jauh, tidur lebih nyenyak, atau sekadar bisa mengangkat tangan untuk menyisir rambut sendiri.

Kesehatan itu bukan angka di tensi darah atau hasil laboratorium. Kesehatan itu juga damai di hati, dan tenang di pikiran.

5. Wajah Orang-Orang yang Saya Sayang

Salah satu momen paling membekas adalah saat saya lihat istri saya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan saya yang masih lemah. Dia tidak berkata banyak. Tapi dari matanya, saya tahu: dia khawatir.

Anak-anak saya juga datang, bergantian. Saya tidak ingin mereka melihat saya sebagai orang lemah. Tapi hari itu, saya tidak bisa berpura-pura kuat.

Ternyata, kesehatan saya bukan hanya urusan saya. Kesehatan saya adalah harapan orang-orang yang mencintai saya.

Setiap kali saya menyerah, saya ingat wajah mereka. Dan saya kembali berjuang. Bukan karena saya kuat, tapi karena saya tahu: hidup ini bukan hanya tentang saya.

Kesehatan itu tanggung jawab, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk mereka yang mencintai kita.

6. Hari-Hari Setelahnya: Belajar Hidup Ulang

Sekarang saya tidak lagi berjalan secepat dulu. Tangan kanan saya belum sepenuhnya pulih. Tapi saya belajar menikmati hal-hal kecil.

Saya lebih banyak diam, lebih banyak mendengarkan. Saya tidak mengejar waktu seperti dulu. Saya tidak lagi mengisi hari dengan "kesibukan" yang tidak memberi makna. Saya mulai bertanya sebelum melakukan sesuatu: "Apakah ini membuat saya lebih sehat secara utuh—bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa saya?"

Saya mulai menikmati sarapan sehat bukan karena takut sakit, tapi karena saya ingin hidup lebih lama untuk tertawa bersama cucu saya nanti.

Saya tidur cukup bukan karena ada aturan kesehatan, tapi karena saya ingin tubuh saya cukup istirahat untuk menyambut hari baru dengan penuh syukur.

Saya mulai bicara dengan tubuh saya seperti sahabat: “Terima kasih, ya. Maaf sudah terlalu lama aku abaikan.”

7. Ajakan: Dengarkan Tubuhmu Hari Ini

Saya menulis ini bukan karena saya ingin memberi "wejangan kesehatan." Saya bukan dokter. Saya juga bukan orang suci. Saya hanya seseorang yang pernah menyesal.

Saya pernah menganggap enteng tubuh saya. Saya pernah merasa, “Ah, nanti juga sembuh sendiri.” Saya pernah lebih peduli pada pekerjaan daripada kesehatan saya sendiri.

Kalau Anda hari ini merasa capek, jangan abaikan. Kalau Anda sering pusing, jangan anggap itu biasa. Kalau tubuh Anda sudah memberi sinyal, dengarkanlah. Tubuh itu seperti anak kecil yang butuh diperhatikan. Kalau kita terus cuek, dia bisa menangis keras. Dan kadang, itu terlambat.

Jagalah tubuhmu seperti sahabat. Berterima kasihlah pada kaki yang masih bisa berjalan. Pada tangan yang masih bisa menggenggam. Pada jantung yang masih berdetak tanpa henti.

Kesehatan itu bukan untuk disombongkan. Tapi untuk disyukuri. Karena saat tubuh kita bekerja dengan baik, kita bisa mencintai lebih leluasa, memberi lebih tulus, dan hadir lebih penuh dalam hidup ini.

8. Kesimpulan: Kesehatan Adalah Bentuk Cinta

Kini saya percaya, menjaga kesehatan adalah salah satu bentuk cinta. Cinta pada diri sendiri. Cinta pada keluarga. Cinta pada kehidupan itu sendiri.

Bukan berarti saya hidup dalam ketakutan akan sakit. Tapi saya hidup dalam kesadaran bahwa tubuh ini bukan mesin. Ia adalah rumah dari seluruh pengalaman hidup kita. Tempat kita tertawa, menangis, merasakan hangatnya pelukan, dinginnya malam, dan nikmatnya makanan sederhana.

Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Saya tidak ingin tubuh saya menjerit dulu baru saya peduli.

Hari ini, saya menjaga tubuh saya bukan karena takut stroke datang lagi. Tapi karena saya sudah belajar menghargai anugerah ini.

Kesehatan adalah kesempatan untuk hadir. Untuk mencinta. Untuk memberi.

Dan saya tidak ingin kehilangan itu lagi.


Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke – Jeffrie Gerry.



“Tuhan, Tubuh Ini Kini Aku Dengar”
(doa seorang yang sedang belajar menghargai hidup dari tubuhnya sendiri)

Tuhan,
hari ini aku datang bukan dengan kekuatan
aku datang dengan tubuh yang pernah goyah
langkah yang pernah tergelincir
dan tangan yang pernah tak mampu menggenggam secangkir air pun.

Bukan pujian yang kubawa,
hanya syukur yang diam-diam ingin menangis
karena hari ini—aku bisa bangun
tanpa bantuan tangan orang lain
tanpa suara mesin atau bel rumah sakit yang menusuk hening.

Aku tidak ingin memohon terlalu banyak hari ini,
biarkan aku duduk sebentar di hadapan-Mu,
memandangi ulang semua hal yang dulu pernah kuanggap biasa
yang ternyata... tak pernah benar-benar “biasa”.


Tuhan,
aku ingat dulu,
setiap kali Engkau kirimkan pusing di kepala
aku lawan dengan kopi, bukan istirahat
aku redam dengan kesibukan, bukan keheningan.
Aku kira tubuhku tak akan protes
aku pikir umur memberiku izin untuk bertahan.

Tapi ternyata tubuhku tidak ingin dipaksa.
Ia bukan budakku. Ia adalah temanku.
Ia bukan alatku. Ia adalah bagian dari diriku
yang selama ini aku biarkan sendiri,
menanggung beratnya dunia yang aku buat sendiri pula.


Tuhan,
aku baru tahu bahwa tubuh pun bisa menangis
meski tak keluar air mata.
Tangisnya adalah kesemutan di tangan kanan
adalah kata-kata yang tersendat
adalah kaki yang tak bisa berdiri tegak
dan detak jantung yang berdebar tak menentu
seolah ingin berkata: “Dengarkan aku…”

Kenapa aku begitu lambat memahami peringatan-Mu, Tuhan?
Kenapa aku harus jatuh dulu
untuk melihat bahwa semua yang aku abaikan—
adalah anugerah yang harusnya kusambut sejak dulu?


Hari ini,
aku memandang tanganku sendiri.
Ia tidak lagi sekuat dulu,
tapi hari ini ia bisa memegang sendok—dan itu cukup.
Dulu aku menulis seribu kata tanpa lelah,
hari ini aku hanya bisa menuliskan satu kata: Terima kasih.

Tubuhku kini seperti sahabat lama
yang dulu sering kuacuhkan, kini ingin kupeluk setiap hari.
Aku belajar menyisir rambut pelan-pelan
karena setiap gerakan, sekecil apapun,
adalah bentuk ibadah, adalah tanda bahwa aku masih hidup
dan masih dicintai oleh-Mu.


Tuhan,
aku bukan ingin kembali jadi kuat seperti dulu,
aku hanya ingin hidup lebih sadar,
lebih hadir, lebih tahu arah
lebih menyayangi napas yang keluar dan masuk ini.

Jikalau Engkau izinkan,
biarkan aku menikmati detak jantungku sebagai lagu pengiring
bukan derak mesin waktu yang terus kupacu.


Aku tahu,
banyak dari kami yang menyepelekan tubuh mereka
mungkin seperti aku dulu—
sibuk mengejar jadwal, uang, atau ambisi
lalu lupa bahwa tubuh pun perlu dipeluk
perlu disapa: “Bagaimana rasamu hari ini?”

Hari ini, aku sapa tubuhku:
“Terima kasih sudah bertahan meski aku sering lupa.”
“Maaf, aku pernah menyakitimu dengan diamku.”
“Aku janji, mulai sekarang aku akan mendengarmu.”


Tuhan,
aku tidak ingin jadi orang yang sibuk memberi nasihat,
aku hanya ingin jadi orang yang jujur pada sesama.
Bahwa tubuh ini bukan milik kita sepenuhnya,
ia adalah titipan—seperti jiwa.

Dan seperti semua titipan dari-Mu,
tubuh ini harus dirawat, dijaga, dan dipulihkan dalam kasih.
Hari ini, aku tidak bicara soal makanan sehat,
tidak soal vitamin atau pola tidur,
tapi soal mendengarkan:
Mendengarkan tubuh saat ia minta istirahat.
Mendengarkan batin saat ia ingin menangis.
Mendengarkan suara-Mu yang datang pelan,
lewat rasa lelah, lewat denyut otot, lewat bisik napas.


Tuhan,
terima kasih telah menahan aku dalam ruang perawatan itu.
Itu bukan tempat penderitaan.
Itu adalah ruang keheningan-Mu,
tempat Engkau menyadarkan aku dari tidur panjang kesombongan.

Di sana aku belajar bahwa hidup bukan tentang kuat
tapi tentang cukup.
Tentang tahu kapan berhenti.
Tentang mengenali wajah orang-orang yang mencintai
yang tanpa kata, hadir tiap pagi, memegangi tangan lemahku,
dan menyeka air mata yang malu turun.


Tuhan,
hari ini aku lebih sering menatap wajah istri dan anakku
bukan untuk memastikan mereka baik-baik saja
tapi untuk meyakinkan diriku bahwa aku masih bagian dari mereka.
Bahwa tubuhku yang belum pulih sepenuhnya,
masih punya ruang untuk mencintai dan dicintai.

Mereka tidak pernah menuntut aku jadi kuat,
mereka hanya ingin aku tetap ada.
Dan untuk itu, aku harus menjaga tubuh ini
dengan kesadaran yang baru:
bahwa setiap bentuk perawatan diri adalah bentuk cinta untuk mereka.


Tuhan,
jika satu hari nanti Engkau memanggilku,
aku ingin datang dalam tubuh yang pernah gagal
tapi tidak pernah menyerah.
Dalam jiwa yang pernah jatuh
tapi bangkit karena percaya pada pemulihan.

Ajari aku untuk tidak iri pada yang lebih kuat,
tapi belajar bersyukur karena aku masih bisa bernapas.
Ajari aku untuk tidak malu pada keterbatasan,
karena dalam kelemahan, aku menemukan makna baru.


Hari ini, Tuhan,
aku tidak minta umur panjang,
aku hanya minta umur yang penuh.
Umur yang benar-benar hidup, bukan sekadar bertahan.
Umur yang tidak lagi sibuk menunda kebahagiaan
atau menyimpan dendam.
Umur yang berani meminta maaf,
dan tak takut bilang, “Aku butuh istirahat.”


Tuhan,
hari ini aku bisa duduk sendiri, menuliskan ini
tanpa rasa malu, tanpa dendam, tanpa pura-pura kuat.
Aku hanya manusia biasa,
yang baru sadar bahwa kesehatan itu bukan hak
melainkan rahmat.

Tubuh ini tidak sempurna,
tapi tubuh ini adalah rumah dari segala cinta
yang masih ingin aku berikan—selama Engkau izinkan.


Terima kasih, Tuhan
untuk hari-hari yang dulu aku abaikan.
Untuk rasa lemas yang membawaku ke kesadaran
Untuk tangan yang harus belajar ulang menggenggam
Untuk langkah yang kini kupijak lebih pelan
tapi lebih penuh rasa syukur.

Tuhan,
terimalah syukurku hari ini
dalam diam
dalam pelan
dalam tubuh yang sedang belajar sehat—
dalam arti yang sesungguhnya.

Amin.

Post a Comment

0 Comments

💬 Pesan untuk Pembaca yang Budiman:
Terima kasih telah berkunjung ke blog Lenyapkan Stroke.

Jika Anda memiliki pengalaman, pertanyaan, atau sekadar ingin berbagi semangat dan dukungan, silakan tinggalkan komentar Anda di bawah.

Setiap kata dari Anda sangat berarti — bukan hanya untuk penulis, tapi juga untuk sesama pembaca yang mungkin sedang melalui perjuangan yang sama.

Mari saling menguatkan, saling belajar, dan terus menyebarkan harapan.
Komentar yang sopan, jujur, dan membangun sangat kami hargai.

Salam hangat dan sehat selalu,
Jeffrie Gerry
Penulis & Penyintas Stroke

Post a Comment (0)
3/related/default