Cara Saya Menghadapi Rasa Takut Kambuh
1. Pembukaan Emosional
Pernahkah Anda terbangun di tengah malam, lalu mendadak merasa ada sesuatu yang salah dengan tubuh Anda? Bukan karena mimpi buruk, bukan juga karena suara-suara dari luar. Tapi karena ketakutan… ketakutan akan sesuatu yang pernah menghantam hidup Anda sebelumnya, dan kini, seolah mengintai kembali di balik bayang-bayang hari yang tampak biasa.
Saya mengalaminya.
Bukan sekali dua kali. Tapi berulang, dan diam-diam merampas rasa aman yang seharusnya bisa saya nikmati di masa pemulihan. Setelah stroke yang saya alami, ketakutan akan kambuh menjadi teman gelap yang tak diundang. Saya tidak tahu kapan ia datang, tapi saya bisa merasakan napasnya di tengkuk saya—dingin, merayap, dan membuat hari-hari yang tadinya cerah, jadi penuh awan kelabu.
Mungkin Anda juga pernah atau sedang merasakan hal yang sama. Rasa takut yang muncul setelah sembuh. Trauma akan kemungkinan terburuk yang bisa datang kembali. Rasa tak yakin apakah tubuh ini sudah cukup kuat. Dan keraguan yang tumbuh di antara setiap langkah kecil yang kita tempuh menuju pemulihan.
Tulisan ini bukan nasihat. Bukan petunjuk medis. Ini hanyalah cerita. Sebuah pembukaan kecil dari hati saya—tentang bagaimana saya mencoba menghadapi rasa takut kambuh, perlahan-lahan, dengan cara yang sederhana namun nyata.
2. Penjelasan Inti
A. Rasa Takut Itu Nyata
Banyak orang berkata, “Jangan terlalu dipikirkan. Nikmati saja hidup.” Tapi siapa pun yang pernah mengalami stroke, atau penyakit berat lainnya, tahu bahwa ketakutan itu bukan hanya pikiran. Ia menetap di tubuh. Menyelinap di antara denyut jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Atau di leher yang terasa lebih tegang setelah bangun tidur. Di kepala yang terasa berdenyut setelah terlalu lama di depan layar.
Saya pernah hampir menangis hanya karena tangan kiri saya tiba-tiba terasa lemah. Padahal, setelah dicek, itu hanya karena posisi tidur yang salah. Tapi ketakutan itu—ah, ia datang lebih dulu dari logika. Rasanya seperti dihantui oleh masa lalu yang belum selesai.
Saya mulai menyadari: saya tidak bisa mengusir rasa takut itu dengan menyangkalnya. Saya harus mengakuinya. Saya harus duduk bersamanya.
Dan di sanalah perjalanan saya benar-benar dimulai.
B. Belajar Duduk Bersama Rasa Takut
Saya belajar untuk tidak melawan rasa takut saya secara frontal. Karena ketika saya memaksakan diri untuk "tidak takut," yang terjadi justru sebaliknya: saya semakin gelisah, cemas, dan overthinking. Alih-alih melawan, saya mulai belajar mendengar apa yang rasa takut itu coba sampaikan.
Saya menuliskan apa saja yang saya rasakan. Kadang satu halaman penuh hanya berisi: “Saya takut stroke saya kambuh.” Lalu, di bawahnya, saya mencoba menjawab sendiri, “Apa yang membuat saya merasa itu akan terjadi?”
Menuliskan perasaan membuatnya menjadi lebih konkret. Tak lagi kabur. Dan seringkali, saya menyadari bahwa sebagian besar ketakutan saya bersumber dari rasa belum siap. Bukan karena gejala nyata.
Saya mulai melihat rasa takut bukan sebagai musuh, tapi sebagai alarm. Tanda bahwa saya perlu memperlambat, memperhatikan tubuh, dan beristirahat dengan benar.
C. Membangun Rutinitas yang Membawa Tenang
Saya bukan orang yang disiplin sejak dulu. Tapi setelah stroke, saya belajar bahwa tubuh saya perlu kasih sayang yang konkret, bukan hanya niat. Saya mulai membangun rutinitas harian yang tidak memberatkan, tapi membuat saya merasa aman.
-
Tidur teratur: Saya menjadikan tidur bukan hanya kebutuhan, tapi perawatan jiwa. Saya berhenti begadang. Saya menjadikan jam 9 malam sebagai batas untuk menutup dunia luar.
-
Makanan sederhana tapi sehat: Saya tidak diet ekstrem, tapi saya belajar untuk mendengar tubuh. Makan makanan yang tidak membuat tubuh “berisik”—itu istilah saya. Kalau selesai makan saya merasa lemas atau pusing, saya catat, dan saya kurangi jenis itu di kemudian hari.
-
Olahraga ringan: Saya berjalan kaki setiap pagi. Bukan untuk membentuk otot, tapi untuk memberi pesan pada tubuh bahwa saya masih aktif, masih ada, dan masih ingin hidup.
-
Berdoa dan menyendiri: Bagi saya, duduk dalam diam adalah cara berdoa yang paling jujur. Tidak perlu kata-kata rumit. Kadang hanya kalimat, “Tuhan, jaga saya hari ini,” sudah cukup membuat hati saya lega.
Rutinitas ini memberi saya jangkar. Sesuatu yang saya genggam ketika ketakutan datang tiba-tiba. Karena saya tahu, saya sedang merawat diri saya dengan sungguh-sungguh. Dan itu, bagi saya, sudah cukup untuk hari itu.
D. Mengobrol dengan Orang yang Mengerti
Satu hal yang paling saya syukuri adalah: saya tidak sendirian. Saya punya istri yang sabar, anak-anak yang penuh perhatian, dan beberapa teman yang mengerti bahwa saya tidak lagi seperti dulu.
Tapi lebih dari itu, saya mencari komunitas kecil, sesama penyintas stroke, tempat saya bisa berbagi tanpa harus merasa “berlebihan.”
Kami saling menceritakan gejala yang kami rasakan, dan ketakutan yang muncul. Dan ajaibnya, ketika mendengar orang lain berkata, “Saya juga takut begitu,” saya merasa tidak aneh lagi. Saya merasa manusiawi.
Rasa takut, ternyata, bisa dibagi. Dan ketika dibagi, ia tidak lagi begitu besar.
E. Memberi Makna Baru pada Hidup
Yang paling sulit bukan mengatasi rasa takut, tapi hidup berdampingan dengannya sambil tetap mencari makna.
Saya tidak lagi melihat hidup sebagai perlombaan. Saya tidak iri pada mereka yang bisa berlari lebih cepat atau bekerja lebih lama. Saya belajar melihat hidup dari sisi lain: keberadaan, bukan pencapaian.
Ada hari-hari saya hanya duduk di teras rumah, melihat pohon bergoyang pelan, dan berkata dalam hati: “Saya bersyukur masih bisa melihat ini.”
Rasa takut akan kambuh tidak bisa saya hilangkan sepenuhnya. Tapi saya bisa menempatkannya di kursi belakang, sementara saya tetap mengemudi perlahan, menikmati setiap detik keberadaan saya di dunia ini.
3. Kesimpulan: Ajakan Bertindak yang Manusiawi
Jika Anda juga sedang berada di masa pemulihan, dan dihantui rasa takut akan kambuh… peluklah ketakutan itu. Jangan usir dia. Tapi jangan biarkan dia memegang kendali.
Berbicaralah padanya, rawat tubuh Anda dengan cinta, dan izinkan diri Anda merasa aman kembali, satu hari demi satu hari.
Kita tidak tahu apakah besok akan baik-baik saja. Tapi kita bisa memilih untuk hadir penuh hari ini. Dengan nafas yang tenang, langkah kecil yang nyata, dan keyakinan bahwa kita tidak sedang sendirian.
Karena setiap rasa takut—betapapun menakutkannya—pasti bisa diredakan. Bukan dengan menghilangkannya, tapi dengan menerima bahwa kita masih hidup, dan karena itulah kita masih bisa berharap.
Dan harapan itu, tak peduli sekecil apa pun, adalah alasan kita bertahan.
Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke: Jeffrie Gerry.
Doa dalam Bayang-Bayang: Sebuah Puisi-Monolog Pasca Stroke
Tuhan,
bolehkah aku bicara sedikit lebih lama malam ini?
Aku tak berniat mengeluh, sungguh,
aku hanya ingin bercerita…
Malam ini sunyi.
Lampu tidur menyala lembut seperti nyawa yang disimpan pelan-pelan.
Dan tubuhku,
tubuh yang pernah tersungkur karena stroke,
kini duduk diam di ranjang, menatap langit-langit,
mengingat rasa yang masih menempel:
takut…
yang datang tak diundang,
yang tinggal tanpa pamit.
Tuhan,
aku tahu Kau mengerti bahkan sebelum kata ini keluar,
tapi izinkan aku menyusunnya tetap,
agar hatiku sendiri tahu
bahwa aku sedang bicara dengan-Mu.
Aku takut.
Takut akan sesuatu yang tak bisa kulihat,
takut akan “kambuh” yang bisa datang tiba-tiba,
seperti badai yang tak terdengar petirnya,
tapi menyapu semuanya dalam sekejap.
Aku sudah sembuh, kata dokter.
Tapi ada sesuatu yang tertinggal di dada—
bukan luka fisik,
melainkan bayangan:
bagaimana jika semuanya terulang?
Bagaimana jika tangan ini kembali tak bisa menggenggam sendok?
Bagaimana jika langkah ini goyah lagi,
dan suara ini kehilangan artikulasinya?
Dan lebih dalam lagi, Tuhan,
bagaimana jika aku tak bisa menjadi ayah,
tak bisa menjadi suami,
tak bisa menjadi diriku sendiri?
Tuhan,
aku tahu Kau tidak menjanjikan hidup tanpa luka,
tapi hari-hari setelah sembuh justru penuh pertempuran sunyi.
Bukan dengan penyakit itu sendiri,
tapi dengan rasa takut yang menyelinap
di balik senyum orang-orang yang menyemangatiku.
Mereka bilang aku kuat,
padahal yang kutahan bukan rasa sakit,
tapi tangis
yang ingin sekali tumpah
karena merasa tubuh ini bukan rumah yang dulu.
Tuhan,
izinkan aku belajar duduk bersama rasa takutku.
Bukan untuk mengusirnya,
tapi untuk mengenalinya,
mendengarkannya berbicara pelan,
seperti anak kecil yang takut kehilangan ibunya.
Aku tak ingin melawannya lagi.
Aku ingin mengajaknya duduk,
menyuguhinya teh hangat,
dan berkata,
“Kau boleh tinggal,
asal kau tahu,
aku sedang belajar berjalan lagi.”
Dan hari-hari itu, Tuhan,
hari ketika aku mencoba mencintai hidupku yang baru,
Kau tahu betapa beratnya bangun dari tidur
hanya untuk memastikan
jantungku masih berdetak.
Betapa hati-hati aku melangkah ke kamar mandi,
berpegangan pada dinding,
berharap tak ada yang ‘salah’.
Betapa banyak hal sederhana
yang dulu tak pernah kupikirkan—
menyisir rambut,
memakai kaus kaki,
mengancingkan kemeja—
sekarang menjadi ibadah kecil
yang kulakukan dengan sungguh-sungguh.
Tuhan,
aku mulai membangun ritme.
Pelan-pelan.
Bukan agar sembuh lebih cepat,
tapi agar aku bisa berdamai
dengan tubuhku yang sekarang.
Aku mulai tidur lebih teratur,
menyederhanakan apa yang kumakan,
dan mendengarkan tubuh ini
seperti aku mendengarkan lagu kesayangan:
dengan sabar,
dengan cinta,
dengan respek.
Dan ketika aku berjalan di pagi hari
dalam sunyi yang bersih dari klakson dan ponsel,
aku merasa hidup ini masih menyapaku.
Tidak dengan gegap gempita,
tapi dengan desir daun,
dengan embun yang belum menguap,
dengan napas yang masih hangat.
Tuhan,
aku bersyukur karena Kau tidak biarkan aku sendirian.
Ada tangan-tangan yang Kau utus—
dalam bentuk istri yang tak pernah bosan menyiapkan makan,
anak-anak yang pelan-pelan belajar tidak bertanya,
“Kenapa Papa cepat lelah?”
Teman-teman yang datang bukan membawa nasihat,
tapi hadir sebagai telinga dan bahu yang hangat.
Dan juga mereka yang pernah jatuh dan bangkit,
sesama penyintas,
yang saling menguatkan bukan lewat motivasi murahan,
tapi lewat kisah yang tak perlu dibesar-besarkan.
Kami saling berkata,
“Saya juga takut.”
Dan di sanalah, Tuhan,
aku merasa dimengerti.
Tuhan,
dari semua yang hilang,
aku mungkin kehilangan sebagian kendali,
tapi aku belajar mendapatkan kembali makna.
Hidup ini tak lagi soal cepat-cepat,
tak lagi soal berlari mengejar mimpi,
tapi soal menyentuh tanah dengan kaki,
merasakan kehadiranMu
dalam setiap tarikan napas.
Aku menikmati duduk di teras,
mendengar burung yang tak punya nama,
melihat cahaya yang menembus celah daun,
dan berkata dalam hati,
“Terima kasih aku masih bisa melihat semua ini.”
Tuhan,
ajarkan aku untuk tak tergesa-gesa ingin “kembali seperti dulu.”
Mungkin aku tak akan sepenuhnya sama.
Tapi aku bisa menjadi versi baru
yang lebih lembut,
lebih peka,
lebih tahu apa itu waktu dan bagaimana menghargainya.
Ajarkan aku untuk tak mengukur hidup dari produktivitas,
tapi dari keberadaan.
Ajarkan aku untuk tak menyesal pada hari-hari
yang terasa lambat,
karena mungkin justru di situlah
Engkau sedang duduk bersamaku.
Dan bila suatu hari nanti
rasa takut itu datang lagi,
biarlah aku menyalakan satu lilin kecil dalam dada,
dan berkata pada diriku sendiri:
“Aku pernah takut,
aku masih takut,
tapi aku tidak menyerah.
Dan selama aku masih bisa mengucapkan ini pada Tuhan,
aku belum kalah.”
Tuhan,
terima kasih karena mendengarkan.
Terima kasih karena hadir dalam sunyi.
Terima kasih karena tidak membiarkan aku merasa sendiri
di jalan pemulihan ini.
Aku tahu,
jalan ini panjang.
Aku tahu,
rasa takut mungkin tak pernah pergi jauh.
Tapi aku juga tahu,
setiap langkah yang kuambil,
adalah langkah yang Kau lihat.
Dan itu cukup untukku malam ini.
(Puisi-monolog ini ditulis oleh Jeffrie Gerry berdasarkan pengalaman pribadi setelah pemulihan stroke. Sebuah suara hati, bukan untuk menggurui, tetapi untuk menemani.)