Menghargai Waktu Bersama Orang Tersayang
Di antara semua harta dunia yang sering kita kejar dengan tergesa, waktu justru menjadi yang paling berharga namun kerap kita abaikan. Terlebih lagi, waktu bersama orang-orang yang kita cintai. Kita terlalu sering menunda pelukan, mengabaikan senyum, melewatkan percakapan, dengan alasan sibuk, capek, atau nanti saja. Padahal, tidak ada yang tahu kapan 'nanti' itu tak lagi tersedia.
Saya menulis ini sebagai seseorang yang sempat hampir kehilangan segalanya, bukan karena kecelakaan tragis, bukan karena konflik besar, tapi karena tubuh saya memutuskan untuk berhenti sejenak melalui serangan stroke. Dan dalam keheningan ruang pemulihan, saya belajar ulang tentang makna waktu, makna kasih, dan makna hadir secara utuh di hadapan mereka yang menyayangi kita tanpa syarat.
Bagaimana Jika Esok Tak Ada?
Pernahkah Anda duduk di ruang yang hening, dengan mesin infus di samping, dan mendengar detak jantung Anda seperti jarum jam yang kehabisan baterai? Saya pernah. Hari itu, saya tidak memikirkan pekerjaan, tidak memikirkan uang, tidak juga memikirkan target hidup yang dulu membuat saya merasa penting. Yang saya pikirkan hanyalah: apakah saya sudah cukup hadir bagi istri saya? Apakah saya cukup membuat anak saya tertawa? Apakah ibu saya tahu betapa saya mencintainya, meski saya jarang bilang?
Waktu tak bisa diulang. Kalimat sederhana itu tak lagi terdengar klise ketika tubuh lumpuh separuh dan hanya bisa bicara lewat tatapan mata. Di titik itu, semua janji yang kita ucapkan menjadi samar. Yang tinggal hanyalah memori. Maka pertanyaannya: memori apa yang kita tinggalkan?
Kebaikan Kecil, Efeknya Abadi
Saya ingat suatu malam, sebelum stroke menghampiri, saya pulang larut karena pekerjaan. Anak saya sudah tidur. Istri saya menyisakan makanan hangat di meja. Saya sempat berpikir untuk membangunkan anak saya, sekadar mencium keningnya dan bilang “Ayah pulang.” Tapi saya urungkan. Saya pikir, nanti saja besok pagi. Tapi keesokan paginya, saya justru dilarikan ke IGD dan hari-hari berikutnya saya tak bisa bicara.
Kenapa kita menunda hal-hal kecil seperti pelukan, pesan singkat “I love you”, senyum dari balik pintu? Kita pikir waktu selalu memihak. Kita salah. Kehangatan justru tumbuh dari hal-hal sederhana. Duduk bersama tanpa gadget. Makan malam tanpa diskusi politik. Jalan kaki sore sambil bercerita masa kecil.
Ketika stroke merenggut sebagian kemampuan saya, istri saya menjadi tangan kanan saya, kaki saya, bahkan suara saya. Ia menyuapi, memandikan, menguatkan. Tapi yang paling menyentuh adalah ketika ia berbisik, “Saya tetap mencintaimu, meski kamu tak bisa bicara.” Dan saya tahu, keajaiban kecil seperti itulah yang membangkitkan semangat hidup. Bukan terapi mahal. Bukan obat. Tapi cinta.
Menunda Itu Berarti Mengurangi
Orang sering bilang, “Nanti kalau pensiun saya akan habiskan waktu bersama keluarga.” Tapi siapa yang menjamin kita akan mencapai pensiun? Stroke tidak bertanya usia. Kanker tidak menunggu gaji stabil. Kematian tidak minta undangan.
Saya bukan ingin menakut-nakuti. Saya hanya ingin berkata, jangan menunda untuk menyayangi. Jangan tunggu momen besar untuk memberi perhatian. Seringkali, yang dirindukan itu bukan liburan ke luar negeri, tapi suara tawa Anda di meja makan. Bukan hadiah mahal, tapi kehadiran utuh Anda saat anak Anda cerita tentang gurunya.
Jika Anda sibuk, sempatkan. Jika Anda capek, pilih yang terpenting. Jika Anda bingung harus mulai dari mana, cukup tatap mata orang terkasih Anda dan katakan, “Aku bersyukur kamu ada.”
Waktu Tidak Akan Kembali, Tapi Bisa Kita Isi
Setelah stroke, saya mulai menulis kembali, meski lambat. Saya menulis bukan untuk kejar klik atau popularitas. Saya menulis karena saya ingin mengabadikan momen. Kata demi kata menjadi cara saya memeluk dunia. Dan setiap kali saya menulis tentang istri saya, saya merasa seperti sedang membalas semua cinta diam-diamnya yang tidak pernah menuntut balasan.
Kini saya menghargai hal-hal kecil:
Suara piring dicuci istri di pagi hari.
Ciuman anak di pipi sambil berkata, “Cepat sembuh ya, Ayah.”
Telepon dari adik hanya untuk bertanya, “Sudah makan belum?”
Senyum ibu yang bergetar karena lega saya masih bisa jalan walau pakai tongkat.
Semua itu kini menjadi emas. Dulu saya anggap biasa. Kini saya tahu: itu anugerah.
Jangan Tunggu Sakit untuk Mengerti
Saya berharap Anda tidak perlu mengalami apa yang saya alami untuk bisa memahami. Anda masih sehat, masih bisa memeluk, masih bisa berlari mengejar anak Anda yang tertawa. Maka lakukanlah.
Matikan ponsel saat makan. Pegang tangan pasangan Anda saat berjalan. Lihat mata orang tua Anda ketika mereka bicara. Simpan momen itu. Karena nanti, ketika waktu memisahkan, yang tinggal hanya kenangan. Dan semoga kenangan itu cukup hangat untuk jadi selimut di masa tua.
Hadiah Terindah Adalah Kehadiran
Waktu tidak bisa dibeli, tapi bisa diberikan. Dan ketika kita memberikan waktu pada orang lain, kita sebenarnya sedang mengatakan, “Kamu penting bagiku.”
Saya mungkin belum sembuh sepenuhnya. Tapi saya bersyukur, karena kini saya tahu cara mencintai dengan lebih dalam. Tidak dengan hadiah, tidak dengan kata-kata bombastis. Tapi dengan hadir, sungguh-sungguh hadir.
Mulailah hari ini. Tatap orang tersayangmu dan ucapkan:
“Terima kasih karena kamu masih di sini. Aku akan lebih banyak mencintai, lebih sering hadir, dan lebih jujur dalam kebersamaan.”
Karena pada akhirnya, bukan panjangnya usia yang membuat kita bahagia, tapi seberapa dalam kita hidup di dalam hati orang-orang yang mencintai kita.
Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke, Jeffrie Gerry.
"Bersama Mereka, Aku Belajar Waktu"