Cara Saya Menghindari Jatuh di Rumah
Refleksi Seorang Penyintas Stroke yang Kini Belajar Berjalan Pelan Tapi Pasti
1. Ketika Lantai Terasa Menjadi Jurang
Saya masih ingat rasa takut itu.
Pertama kali berjalan keluar kamar setelah serangan stroke, rasanya seperti hendak melintasi jembatan gantung. Lantai keramik yang dulu tak pernah saya perhatikan, kini terasa licin seperti es. Dinding yang dulu hanya latar belakang rumah, kini menjadi tempat saya bersandar dengan napas memburu. Bahkan tikar kecil pun bisa menjadi perangkap. Keseimbangan tubuh saya sudah tak lagi bisa diandalkan begitu saja.
Jatuh bukan cuma soal luka luar, tapi bisa memicu trauma baru, memperlambat pemulihan, bahkan mengancam nyawa jika kepala terbentur. Maka, saya mulai belajar. Bukan hanya belajar berjalan lagi, tapi belajar menghindari jatuh di rumah—yang diam-diam menjadi musuh tersembunyi bagi banyak penyintas stroke, lansia, dan siapa pun yang pernah kehilangan keseimbangan.
2. Membangun Kesadaran: Rumah Bukan Selalu Aman
-
Kita lengah karena merasa ‘sudah hafal medan.’
-
Kita bergerak tanpa sadar, karena merasa ini “zona nyaman.”
-
Kita jarang berpikir untuk mengevaluasi tata ruang rumah yang selama ini tak pernah menjadi masalah… sampai tubuh kita berubah.
Saya mengalami dua kali hampir jatuh. Pertama, saat hendak bangun dari sofa tanpa tongkat. Kedua, saat melangkah di kamar mandi yang baru selesai dipel. Tidak ada yang benar-benar parah, tapi cukup membuat jantung berdebar dan menyadarkan: saya harus berubah.
3. Mencegah Jatuh Bukan Sekadar Hati-Hati
Berikut adalah beberapa hal yang saya lakukan untuk menghindari jatuh di rumah, yang ternyata membuat saya lebih tenang menjalani proses pemulihan:
A. Merancang Jalur Aman
Saya mulai dengan melihat ulang seluruh isi rumah. Bukan dengan mata orang sehat, tapi dengan mata seorang penyintas stroke.
-
Menghindari kabel yang berserakan.
-
Mengatur ulang posisi perabot agar ada ruang jalan lebih lebar.
-
Menyingkirkan karpet kecil yang licin.
-
Memberi penanda di sudut meja tajam atau mengganjalnya dengan pelindung lunak.
Rasanya seperti pindahan rumah kecil-kecilan. Tapi saya sadar, lebih baik capek menata ulang daripada celaka karena tergelincir.
B. Pencahayaan yang Cukup
Saya perhatikan, beberapa bagian rumah saya pencahayaannya remang. Tangga tanpa lampu malam, lorong kamar mandi yang suram. Saya ganti semuanya dengan lampu LED terang dan hemat energi. Saya juga meletakkan lampu sensor gerak di dekat tempat tidur, agar kalau saya bangun malam untuk ke kamar mandi, tak perlu meraba-raba.
Melihat jelas adalah langkah awal mencegah jatuh. Kegelapan memperbesar ketidakpastian kaki.
C. Pegangan dan Sandaran
Saya pasang pegangan tangan (grab bar) di kamar mandi—di dekat kloset dan shower. Tidak mahal, tapi sangat menenangkan. Saat tangan bisa menggenggam, hati jadi lebih berani melangkah. Saya juga memilih kursi duduk di kamar yang memiliki sandaran kokoh.
Bersandar bukan kelemahan. Dalam kondisi pemulihan, bersandar adalah strategi.
D. Menyesuaikan Alat Bantu
Saya mulai latihan dengan tongkat satu kaki, kemudian beralih ke tongkat gawang. Saya coba satu per satu untuk tahu mana yang membuat saya paling stabil di medan licin, termasuk ubin dan teras.
Jangan gengsi memakai alat bantu. Lebih baik tampak pelan tapi selamat, daripada cepat lalu jatuh.
E. Rutinitas Gerak yang Terencana
Saya tidak lagi asal berdiri atau berjalan. Setiap gerak punya pola: bangun pelan, berdiri dulu beberapa detik, lalu baru jalan. Saya tidak menyepelekan rasa pusing kecil atau kaki yang tiba-tiba lemas. Kalau tubuh memberi sinyal, saya dengarkan.
4. Mengatur Pikiran, Menghindari Jatuh Batin
Saya menulis catatan harian. Saya menyebut satu keberhasilan kecil tiap hari:
-
Hari ini bisa jalan 10 meter tanpa berhenti.
-
Hari ini bisa naik dua anak tangga.
-
Hari ini tidak jatuh meski lantai basah karena hujan.
Syukur kecil menjadi jangkar batin saya. Saat hati stabil, tubuh ikut kuat.
5. Kesadaran Baru tentang ‘Jatuh’
Setiap kali hampir jatuh, saya merenung:
-
Apa yang saya lakukan sebelum itu?
-
Apakah saya terburu-buru?
-
Apakah saya terlalu percaya diri?
-
Apakah saya menyepelekan kelelahan?
Lama-lama, saya belajar mengenali pola-pola kejatuhan, dan dari sanalah saya membuat sistem perlindungan.
6. Kesimpulan: Melangkah dengan Cinta, Bukan Terburu-Buru
Ajakan untuk Pembaca
Jika kamu sedang dalam masa pemulihan, apapun jenisnya—stroke, patah tulang, usia senja—ingatlah bahwa jatuh bisa dicegah.
-
Ubah rumahmu menjadi tempat yang ramah untuk dirimu yang sekarang.Jangan menyesuaikan tubuhmu dengan rumah lama. Ubahlah rumah agar cocok untuk tubuhmu hari ini.
-
Dengarkan tubuh.Kalau lelah, istirahat. Kalau goyah, minta bantuan. Jangan biarkan ego mengalahkan keselamatan.
-
Rayakan setiap langkah.Tidak ada langkah yang terlalu kecil untuk disebut keberhasilan.
-
Tidak perlu cepat.Karena kadang, yang cepat justru terpeleset lebih dulu.
Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis, Jeffrie Gerry, yang sedang menjalani pemulihan pasca stroke. Kini ia berjalan dengan tongkat, namun penuh kesadaran dan cinta. Jatuh tak lagi jadi momok, karena ia telah belajar cara berdiri kembali—di rumah yang sekarang lebih aman, dan dalam jiwa yang kini lebih tenang.
Doa Seorang yang Sedang Belajar Berjalan Lagi
“Ya Tuhan, Jadikan Rumahku Aman, dan Hatiku Tenang”
Karya: Jeffrie Gerry (Japra)
Tuhan,
Hari ini aku tidak meminta langkah yang cepat,
Hanya langkah yang selamat.
Aku tak mendamba tubuh yang sempurna seperti dahulu,
Aku hanya ingin tidak jatuh lagi—di lantai,
atau dalam batinku sendiri.
Setelah stroke menyentuh tubuh ini,
Langit dan lantai tak lagi sejauh dulu.
Tiap sudut rumah menjadi pertanyaan:
Apakah ini tempat berlindung… atau tempat aku bisa tergelincir?
Maka aku datang,
Bukan sebagai orang kuat,
Tapi sebagai manusia yang belajar berjalan kembali.
Belajar dari awal:
Bangun, duduk, berdiri,
Melangkah… pelan…
Satu demi satu,
Dengan kesadaran penuh bahwa
lantai bisa menjadi jurang bila hati lengah.
Tuhan,
Ajari aku mengatur jalur hidupku sebagaimana aku mengatur ulang jalur di rumahku.
Aku telah menyingkirkan kursi kecil di lorong,
Menata ulang letak meja,
Menggulung karpet kecil yang dulu kupikir lucu,
Kini kupahami: keselamatan tak selalu butuh estetika.
Aku mengganti cahaya di lorong kamar mandi,
Memasang lampu di tempat gelap,
Karena aku tahu,
Kaki yang lemah tak bisa berjalan dalam bayang-bayang.
Terangilah hatiku juga, Tuhan,
Agar aku tidak jatuh dalam kelam pikiran yang menyalahkan diri sendiri.
Tuhan,
Aku pasang pegangan di dekat kloset
Bukan karena aku malu lemah,
Tapi karena aku ingin pulih dengan bijak.
Aku peluk tongkatku, bukan karena aku kalah,
Tapi karena aku tidak ingin gegabah.
Aku tahu,
Bersandar itu bukan berarti menyerah,
Sama seperti berserah pada-Mu bukan berarti berhenti berusaha.
Tuhan,
Ada hari-hari di mana aku ingin langsung bisa berdiri seperti dulu,
Berjalan tanpa berpikir,
Melompat tanpa ragu.
Tapi kini, aku memilih pelan
Agar tiap langkahku menjadi doa.
Sebab jatuh bukan hanya luka di lutut
Tapi luka di harga diri.
Aku sudah pernah merasa itu—sakitnya dalam dan diam.
Saat hampir jatuh di kamar mandi,
Saat tubuhku mendadak lemas dan aku terpaku di tengah ruang tamu.
Maka aku datang lagi ke hadapan-Mu,
Bukan hanya dengan tubuh yang butuh pemulihan,
Tapi juga dengan jiwa yang mohon dibimbing
agar tidak tergelincir oleh putus asa.
Tuhan,
Jika Kau tak bisa mengangkatku seketika,
Tak apa…
Asal Kau mendampingi aku melangkah setiap hari.
Bimbing aku saat bangun dari tempat tidur,
Bantu aku duduk tanpa tergesa,
Dan tuntun aku hingga ke kamar mandi dengan aman.
Bantulah aku mengerti,
Bahwa tidak semua orang memahami perjalanan ini.
Tak semua tahu bagaimana rasanya takut melangkah di rumah sendiri.
Tak semua bisa melihat trauma kecil saat hampir jatuh,
yang terus tinggal di pikiran, bahkan saat tubuh diam.
Tapi Engkau tahu.
Engkau lihat.
Engkau dengar bisikanku tiap malam:
“Ya Tuhan, hari ini aku tidak jatuh,
meski lututku gemetar. Terima kasih.”
Tuhan,
Ajari aku mencintai tubuhku yang baru.
Yang mungkin tidak sekuat dulu,
Tapi kini lebih sadar.
Yang mungkin tak bisa cepat,
Tapi kini lebih lembut.
Yang mungkin perlu bantuan,
Tapi kini tahu cara bersyukur.
Ajari aku mengatur ritme hidup,
Sebagaimana aku kini mengatur ritme jalan.
Satu… dua… istirahat.
Lihat ke depan.
Tarik napas.
Lanjutkan lagi.
Tak perlu menang,
Tak perlu jadi tercepat,
Cukup… sampai dengan selamat.
Ajari aku menerima bantuan,
Bukan sebagai kelemahan,
Tapi sebagai bentuk cinta dari orang-orang yang peduli.
Saat istri menggenggam tanganku,
Saat anak membetulkan posisi tongkatku,
Saat tetangga membawakan air hangat,
Ajari aku untuk tidak merasa tak berdaya,
Tapi merasa… dicintai.
Tuhan,
Aku tak ingin rumahku menjadi tempat yang aku takuti.
Aku ingin menjadikannya tempat aman bagi tubuhku yang sedang tumbuh kembali.
Tempat aku belajar berjalan,
Tempat aku belajar sabar,
Tempat aku belajar bersyukur.
Karena aku tahu,
Jatuh bukan hanya soal lantai,
Tapi soal apakah kita bersiap,
dan apakah kita sadar.
Karena itu, Tuhan,
Berikan aku kesadaran,
Bukan hanya di kaki,
Tapi di hati.
Agar aku tak jatuh oleh marahku sendiri.
Agar aku tak terpeleset oleh rasa malu yang tak perlu.
Hari ini,
Jika aku bisa berjalan dari tempat tidur ke ruang makan tanpa goyah,
Itu sudah cukup jadi mukjizat.
Jika aku bisa duduk di kursi dan tidak tergelincir,
Itu sudah cukup untuk kusebut:
"Aku sedang disembuhkan."
Tuhan,
Jika Engkau memberiku satu langkah aman hari ini,
Aku akan memakainya untuk mendekat kepada-Mu.
Jika Engkau menguatkan lututku hari ini,
Aku akan menggunakannya untuk bersujud lebih rendah.
Jika Engkau menolongku berdiri hari ini,
Aku akan menolong jiwa lain yang sedang goyah.
Tuhan,
Jadikan langkahku pelan,
Tapi penuh cinta.
Jadikan rumahku sederhana,
Tapi penuh kehangatan.
Jadikan tubuhku belum sempurna,
Tapi cukup untuk melakukan kebaikan kecil hari ini.
Dan jika suatu hari aku jatuh lagi,
Jangan biarkan aku larut dalam kecewa.
Tolong aku bangkit lagi,
Karena aku tahu,
Engkau tak pernah jauh.
Aku berserah bukan karena kalah,
Aku berserah karena aku ingin dilindungi.
Aku berjalan bukan untuk kembali ke masa lalu,
Tapi untuk menerima tubuhku yang sekarang,
yang sedang dibangun ulang—oleh kasih, oleh sabar, oleh Engkau sendiri.
Puisi ini ditulis berdasarkan kisah nyata penulis, Jeffrie Gerry, yang sedang menjalani pemulihan pasca stroke. Kini ia belajar melangkah kembali di rumahnya yang telah ditata ulang dengan hati-hati, dan dalam hatinya yang dipenuhi harapan dan kesadaran.