Belajar Bersyukur Setelah Melawan Stroke
1. Saat Dunia Terasa Terbalik
Bayangkan suatu pagi kamu bangun seperti biasa, ingin meraih segelas air, tapi tanganmu tak lagi mendengar perintah. Kaki kananmu seperti menginjak awan, tak kuat menopang tubuh. Lidahmu kaku, ucapanmu kacau, seolah dunia menaruh “pause” di sebagian tubuhmu. Itulah pagi yang tidak akan pernah saya lupakan: saat stroke datang diam-diam, tanpa peringatan, mengubah segalanya.
Bukan sekadar tubuh yang lumpuh sebagian, tapi seluruh cara pandang terhadap hidup dipaksa berubah. Saya bukan hanya kehilangan kekuatan otot, tapi juga kehilangan pekerjaan, aktivitas, rutinitas, bahkan harga diri. Semua terasa seperti ditarik dari bawah, dan saya jatuh dalam jurang yang dalam, gelap, dan sunyi.
Tapi, dari tempat paling gelap itulah, saya perlahan melihat cahaya lain: cahaya kecil bernama syukur.
2. Mengenal Stroke, Mengenal Diri Sendiri
Stroke bukan hanya penyakit fisik. Ia ibarat alarm keras yang membangunkan tubuh dan jiwa dari tidur panjang tentang kesombongan manusia. Saya dulu orang yang sibuk, merasa tak tergantikan, berpikir bahwa waktu adalah uang, dan tubuh adalah mesin yang harus terus dipacu. Tidur hanya secukupnya, makan semaunya, stres dianggap hal biasa. Sampai tiba hari di mana semua itu ditagih lunas.
Dokter hanya berkata singkat, “Stroke ringan.” Tapi bagi saya, itu terasa seperti vonis seumur hidup. Saya tak bisa lagi berjalan seperti dulu, tangan kanan saya menjadi lamban, dan aktivitas sederhana seperti membuka botol air menjadi tantangan besar. Namun di situlah letak pembelajaran sesungguhnya.
Saya mulai memperhatikan nafas. Saya belajar mengunyah makanan perlahan. Saya menghitung detak jantung saat duduk di teras rumah. Saya belajar menghargai... detil kecil kehidupan.
3. Hidup Tidak Selalu Bergerak Cepat
Saat stroke memaksa saya melambat, saya baru menyadari betapa dunia ini bergerak terlalu cepat. Semua orang terburu-buru: mengejar karier, mencari uang, mengejar validasi sosial. Tapi, apa gunanya semua itu kalau kita melupakan diri sendiri?
Saya yang dulu berjalan cepat, kini memakai tongkat. Saya yang dulu bicara panjang lebar, kini banyak diam dan mendengar. Tapi justru dalam keheningan dan keterbatasan itulah saya mulai benar-benar hidup.
Tidak semua keterlambatan itu kutukan. Kadang, tubuh hanya ingin kita berhenti sejenak, duduk bersama hati, dan bertanya: “Apa arti hidup ini jika hanya untuk berlari?”
4. Belajar Bersyukur dari Hal yang Sering Diabaikan
Dulu saya tidak pernah bersyukur karena bisa berjalan. Saya anggap itu hal biasa. Tapi setelah stroke, satu langkah saja adalah kemenangan. Saya takjub bisa memegang sendok, bisa duduk tegak, bisa mandi tanpa bantuan.
Hal-hal yang dulu saya anggap sepele, kini menjadi hadiah besar.
-
Bisa tersenyum dan tidak merasa pusing? Bersyukur.
-
Bisa tidur nyenyak tanpa kesemutan? Bersyukur.
-
Bisa menulis satu paragraf penuh tanpa gemetar? Bersyukur.
Syukur bukan sekadar ucapan "Alhamdulillah" atau "Puji Tuhan." Syukur adalah kesadaran utuh bahwa hidup ini rapuh, dan setiap detik yang diberikan adalah kesempatan baru untuk mencintai, memberi, dan menjalani hari dengan sadar.
5. Menghadapi Penolakan dan Rasa Tak Berguna
Stroke tidak hanya melemahkan tubuh, tapi juga mengguncang identitas. Saya di-PHK dari pekerjaan tanpa pesangon. Saya merasa tak berguna. Tak bisa menjadi "penyumbang ekonomi" di keluarga. Saya malu bertemu teman. Saya menutup diri. Saya merasa tak ada yang mengerti kesedihan ini—bahkan saya sendiri pun sulit memahaminya.
Namun pelan-pelan, saya mulai mengubah cara pandang. Saya bertanya: Apa benar hidup ini hanya soal bisa bekerja, produktif, dan menghasilkan uang? Apakah saya tak layak dihargai hanya karena tubuh saya terbatas?
Lalu saya mulai menulis. Menulis dengan jari yang gemetar. Bukan untuk populer, bukan untuk uang, tapi untuk menyembuhkan diri. Ternyata, saya masih bisa berguna. Masih bisa memberi inspirasi. Masih bisa berbagi cerita tentang kesembuhan dan harapan. Dari situlah saya kembali merasa bernilai.
6. Bersyukur Bukan Berarti Pasrah
Banyak orang mengira bahwa bersyukur berarti berhenti berjuang. Tidak. Justru bersyukur membuat saya semakin gigih. Saya berlatih berjalan setiap hari, meski pelan. Saya bangun lebih pagi, bukan untuk terburu-buru, tapi untuk memberi waktu pada tubuh agar siap menjalani hari.
Saya belajar membuat jus sendiri, belajar meditasi, belajar mendengar tubuh. Saya tidak ingin kembali seperti dulu—karena saya tahu, cara hidup saya dulu lah yang membuat saya jatuh. Saya ingin versi diri yang baru: lebih pelan, tapi sadar. Lebih sederhana, tapi dalam. Lebih lembut, tapi kuat.
7. Menghadapi Hari-Hari Sepi dan Lelah
Saya tidak akan berbohong: hari-hari sepi itu banyak. Rasa lelah, bosan, dan ingin menyerah datang silih berganti. Kadang saya menangis di tengah malam. Kadang saya merasa Tuhan sedang menjauh. Kadang saya iri pada mereka yang sehat, aktif, dan tak peduli akan pentingnya menjaga tubuh.
Namun dalam keheningan itu juga, saya merasa ditemani. Bukan oleh manusia, tapi oleh kesadaran bahwa saya masih ada. Masih hidup. Masih punya kesempatan untuk berubah.
Hari-hari berat bukanlah musuh, tapi guru. Guru yang mengajari bahwa tidak semua harus sempurna agar layak disyukuri.
8. Hubungan yang Diuji dan Dimurnikan
Stroke juga menguji relasi. Siapa yang benar-benar peduli, siapa yang hanya datang saat senang—semua terbuka jelas. Teman yang dulu sering tertawa bersama, menghilang perlahan. Tapi ada juga yang justru datang diam-diam: saudara jauh yang tiba-tiba mengirim pesan, tetangga yang menawarkan bantuan, atau jemaat gereja yang dengan tulus memberi dukungan.
Saya belajar bahwa cinta itu tidak selalu datang dari orang yang paling dekat, tapi dari mereka yang diam-diam menyisihkan waktu untuk peduli. Saya juga belajar memaafkan—bukan karena mereka benar, tapi karena saya butuh damai.
9. Makna Baru tentang Kesembuhan
Dulu saya pikir kesembuhan adalah kembali ke kondisi sebelum stroke. Tapi sekarang, saya tahu kesembuhan itu bukan soal tubuh, tapi soal hati. Saya mungkin belum bisa lari. Tapi hati saya sekarang lebih damai. Saya mungkin belum bisa menulis cepat. Tapi setiap kata yang keluar kini lebih jujur. Saya mungkin belum "sembuh total," tapi saya lebih utuh.
Kesembuhan bukan berarti sempurna. Kesembuhan adalah saat kita menerima diri kita sekarang, dengan segenap cinta dan harapan.
10. Menghidupi Hari Ini, Dengan Penuh Syukur
Kini saya bangun pagi, melihat cahaya matahari dari jendela, dan berbisik, “Terima kasih, Tuhan, saya masih di sini.” Saya memulai hari bukan dengan to-do list panjang, tapi dengan napas yang tenang dan doa sederhana. Saya belajar bahwa satu hari yang dijalani dengan sadar, jujur, dan syukur… jauh lebih berharga dari seribu hari yang sibuk tapi hampa.
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi hari ini, saya memilih untuk hidup. Untuk mencintai tubuh saya, meski tak sempurna. Untuk menghargai waktu, meski berjalan lambat. Untuk bersyukur, meski masih banyak hal yang belum pulih.
Saya hidup bukan untuk berlari lagi. Tapi untuk berjalan bersama makna.
Penutup: Ajakan untuk Mereka yang Masih Mengeluh
Jika kamu masih bisa berjalan, tersenyumlah.
Jika kamu masih bisa bicara jelas, bersyukurlah.
Jika kamu masih bisa memeluk orang yang kamu cintai, peluklah mereka hari ini.
Dan jika kamu sedang menghadapi penyakit, atau keterbatasan yang membuatmu merasa tak berguna—ingatlah, kamu tetap berharga. Hidupmu tetap berarti. Tidak perlu menunggu semua pulih untuk mulai bersyukur. Kadang, bersyukur dulu lah yang membuka pintu kesembuhan.
Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis, Jeffrie Gerry, yang sedang menjalani pemulihan pasca stroke. Saya masih belajar berjalan. Tapi lebih dari itu, saya sedang belajar menjadi manusia yang lebih bersyukur—dan itu adalah pelajaran terbesar dalam hidup saya.
Doa Seorang Pejuang Stroke:
“Pelan Saja, Tuhan, Asal Sembuh dengan Cinta”**
Karya: Jeffrie Gerry (Japra)
Tuhan...
Hari ini aku tidak datang untuk minta mukjizat,
Aku datang untuk berterima kasih…
…karena aku masih bisa datang.
Kaki ini belum sempurna berdiri,
Tapi setidaknya masih bisa goyah menuju harapan.
Tanganku belum lincah seperti dulu,
Tapi lihat… ia sudah bisa menggenggam namamu dalam diam.
Tuhan,
Dulu aku sibuk mengejar hidup
Sampai lupa bagaimana cara hidup itu sendiri.
Dulu aku memaksa tubuh ini jadi kuda balap,
Lupa bahwa ia makhluk yang juga butuh tidur,
butuh jeda, butuh dipeluk dengan sabar.
Sekarang aku tahu,
Rasa sakit itu bukan kutukan.
Stroke ini bukan musuh.
Ia adalah panggilan lembut yang kau kirim
karena aku terlalu keras kepala untuk mendengar yang halus.
Dan lihat aku kini,
Duduk diam dengan kepala bersandar pada cahaya jendela,
Belajar ulang: cara bernapas... cara bersyukur... cara merasa cukup.
Tuhan,
Ajari aku bersyukur bukan karena sembuh,
Tapi karena diberi kesempatan untuk sembuh.
Ajari aku bahagia bukan karena bisa berlari,
Tapi karena tidak lagi merasa perlu mendahului siapa-siapa.
Dulu aku berpikir hidup adalah kompetisi,
Sekarang aku sadar…
Hidup adalah latihan mencintai,
Mencintai diriku sendiri yang kini sedang luka,
Mencintai tubuh ini,
Yang tak sempurna, tapi setia.
Tuhan,
Berikan aku kekuatan,
Bukan kekuatan seperti pahlawan film,
Tapi kekuatan untuk berdamai dengan kenyataan.
Untuk menerima bahwa tidak semua luka bisa sembuh cepat.
Bahwa kadang penyembuhan itu menyakitkan.
Bahwa menangis pun bagian dari pengobatan jiwa.
Tuhan,
Aku rindu masa-masa saat berjalan tanpa rasa takut,
Saat makan tanpa khawatir tersedak,
Saat tertawa tanpa beban di pipi.
Tapi lebih dari itu,
Aku rindu diriku sendiri yang dulu penuh semangat.
Maka tolong kembalikan jiwaku,
Bukan tubuhku dulu.
Jika pun tubuh ini harus lambat,
Biarlah jiwaku tetap cepat bersyukur.
Jika pun lidah ini belum jelas bicara,
Biarlah hatiku tetap lancar menyebut namamu.
Tuhan,
Terima kasih karena lewat sakit ini,
Aku mengenal cinta istri yang sabar menyuapiku.
Aku mengenal doa anakku yang kecil tapi penuh kuasa.
Aku mengenal perhatian dari jemaat, tetangga, bahkan orang asing.
Lewat sakit ini,
Aku akhirnya belajar:
Aku tidak sendiri.
Tuhan,
Malam-malamku kini tak selalu gelap.
Ada bintang kecil yang bernama harapan,
Ada bisik lembut yang berkata,
"Kamu sedang disembuhkan, bukan dihukum."
Ajari aku menikmati langkah kecilku,
Ajari aku memaafkan diriku sendiri,
Ajari aku tidak menyalahkan masa lalu,
Ajari aku menatap masa depan
tanpa bayangan ketakutan.
Tuhan,
Biarpun aku belum bisa mandi sendiri,
Biarpun aku belum bisa memegang pena tegak,
Aku ingin tetap bisa menulis puisi-puisi kecil dalam hatiku
tentang rahmat yang tak pernah putus.
Biarpun pekerjaan lamaku hilang,
Biarpun penghasilan tak seperti dulu,
Aku ingin tetap bisa bekerja dalam sunyi,
menjadi penulis kesembuhan,
pengabar harapan untuk mereka yang ingin menyerah.
Tuhan,
Jika Kau tak bisa membuatku sembuh dalam sekejap,
Tak apa.
Asal Kau tetap bersamaku dalam proses.
Dalam fisioterapi yang melelahkan,
Dalam obat-obatan yang menjemukan,
Dalam latihan berjalan yang kadang membuat air mataku jatuh diam-diam.
Biarlah rasa sakit ini menjadi cara-Mu
mengukir sabar yang tak pernah aku miliki.
Biarlah rasa sesak ini menjadi jembatan
menuju diriku yang lebih tenang,
lebih manusia,
lebih mengerti makna hidup.
Tuhan,
Jangan izinkan aku jadi sombong jika kelak sembuh.
Jangan izinkan aku melupakan rasa sakit
yang justru membuatku lebih dekat dengan-Mu.
Jika kelak aku bisa berlari lagi,
Biarlah langkahku menjadi langkah pelayanan.
Jika kelak aku bisa bekerja lagi,
Biarlah tanganku digunakan untuk menolong, bukan menekan.
Jika kelak aku bisa berbicara jernih kembali,
Biarlah kata-kataku menjadi obat bagi jiwa-jiwa lain yang nyeri.
Tuhan,
Terima kasih karena sudah mendiamkan dunia
agar aku bisa mendengar suara hatiku.
Terima kasih karena telah menghentikan langkahku
agar aku bisa melihat sekeliling.
Aku kini tahu…
Bahwa kesembuhan tidak selalu datang dari rumah sakit,
tapi bisa juga dari air mata yang diterima,
dari pelukan istri saat tubuh gemetar,
dari genggaman anak yang kecil namun penuh kasih.
Tuhan,
Hari ini aku bersyukur.
Bukan karena semuanya sudah kembali normal.
Tapi karena aku akhirnya menerima bahwa
hidup tidak harus kembali seperti dulu
untuk tetap indah dijalani.
Aku tidak lagi menunggu tubuhku sempurna.
Aku hanya ingin jiwaku damai.
Dan itu, sudah cukup untuk kusebut "sembuh".
Tuhan,
Doaku hari ini sederhana saja:
Ajari aku hidup pelan,
Tapi penuh makna.
Ajari aku sembuh perlahan,
Tapi dengan cinta.
Ajari aku, Tuhan…
Untuk tidak hanya melewati badai,
Tapi tumbuh bersamanya.
Puisi ini ditulis berdasarkan kisah nyata penulis, Jeffrie Gerry, yang sedang menjalani pemulihan pasca stroke. Ia masih belajar berjalan, namun jiwanya kini berlari lebih jauh dalam syukur dan harapan.