Mengapa Saya Menulis Blog Ini: Untuk Anda
Oleh: Jeffrie Gerry
1. Pembukaan Emosional: Sebuah Malam yang Mengubah Segalanya
Saya adalah orang biasa. Bekerja dengan semangat, mengejar target, dan kadang lupa mengeluh karena merasa semua baik-baik saja. Saya pikir tubuh ini kuat. Saya pikir saya masih punya banyak waktu.
Ternyata saya keliru.
Beberapa hari kemudian, saya tak lagi bisa berdiri sendiri. Saya harus belajar berjalan dari nol, belajar bicara dengan perlahan, dan yang paling sulit: belajar menerima bahwa saya tak lagi sama seperti dulu.
2. Penjelasan Inti: Saat Kata Menjadi Terapi
Menemukan Diri Lewat Tulisan
Blog Ini Bukan Tentang Saya, Tapi Tentang Kita
Setiap artikel yang saya tulis, saya bayangkan Anda sedang membacanya dengan napas berat, mungkin sambil menahan tangis, atau mungkin sambil berjuang berdamai dengan diri sendiri.
Saya menulis untuk menyampaikan pesan bahwa meski hidup tak berjalan seperti rencana, kita masih punya pilihan untuk merangkul kenyataan dan tumbuh darinya.
Saya Tidak Tahu Jawaban, Tapi Saya Mengerti Pertanyaan
Blog Ini Menjadi Kompas Saat Saya Tersesat
3. Kesimpulan: Ajakan yang Tulus dari Seorang Penyintas
Mari tetap hidup. Dengan utuh, dengan luka, dengan harapan.
Penutup:
Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis yang saat ini sedang menjalani pemulihan pasca stroke, Jeffrie Gerry.
— Dari hati, untuk Anda.
PUISI MONOLOG: DOA DARI RANJANG PEMULIHAN
Oleh Jeffrie Gerry – Penyintas Stroke
(1)
Tuhan,
aku tidak akan bertanya mengapa lagi.
Malam itu sudah cukup menjadi jawaban,
ketika tangan kiriku tak bisa lagi menepuk dada,
dan kakiku seperti lupa jalan pulang.
Aku hanya ingin duduk bersamamu malam ini,
dalam diam yang tidak menghakimi,
dalam pelukan yang tidak meminta penjelasan.
(2)
Tuhan,
aku bukan lagi orang yang sama.
Aku tahu itu.
Kemeja kerjaku menggantung,
sepatu pantofelku tertidur di bawah lemari.
Agenda penuh janji kini kosong halaman.
Namun aku masih punya nyawa,
dan itu lebih dari cukup
untuk menulis ulang semua puji-pujian yang sempat kulupakan.
(3)
Ini bukan ratapan, Tuhan.
Ini hanya pengakuan dari seorang anakmu
yang akhirnya tahu,
betapa berharga detik yang dulu dianggap biasa.
Aku mohon,
izinkan aku sembuh, bukan untuk kembali jadi seperti dulu,
tapi agar aku bisa jadi versi baru dari diriku
yang lebih tahu caranya mencintai hidup
meski dengan langkah yang pelan.
(4)
Tuhan,
aku menulis ini dari ranjang pemulihan,
tempat air mataku tumpah tanpa malu,
tempat tangan gemetar ini belajar mengetik ulang harapan
satu huruf,
satu napas,
satu doa dalam diam.
(5)
Aku tahu,
kesembuhan bukan soal cepat atau lambat,
tapi tentang kesetiaan setiap hari
untuk tetap mencoba walau sakit datang berkali-kali.
Tuhan,
ajarkan aku sabar yang tidak pahit.
Ajarkan aku menerima tanpa menyerah.
Ajarkan aku mencintai tubuhku yang kini lebih lamban,
namun lebih jujur dalam menyampaikan rindu pada hidup.
(6)
Tuhan,
dulu aku sibuk.
Terlalu sibuk sampai lupa memeluk istriku lebih lama,
lupa mendengar suara detak jantungku sendiri.
Stroke ini seperti jentikan kasih yang keras—
menampar, tapi tak membunuh.
Menegur, tapi tak menghancurkan.
Kini aku duduk sendiri di tepi waktu
dan menyadari:
Engkau tidak pernah jauh,
aku saja yang terlalu cepat berlari.
(7)
Doaku malam ini sederhana, Tuhan.
Bukan kekuatan super,
bukan mukjizat mewah.
Hanya satu permintaan:
jadikan aku orang yang bisa menginspirasi dari tempat yang sunyi.
Izinkan blog ini jadi rumah
bagi hati-hati yang pernah kehilangan harapan.
Izinkan tulisan ini jadi pelita
bagi yang tersesat dalam lorong rumah sakit dan diagnosis yang rumit.
(8)
Aku tahu aku bukan nabi,
bukan penyair besar,
bukan motivator yang kata-katanya bersinar di panggung.
Aku hanya Jeffrie.
Seorang yang pernah berjalan cepat,
lalu tersungkur pelan.
Tapi kini aku menulis.
Dengan tangan yang pernah lemas,
dan jiwa yang perlahan kuat lagi.
(9)
Tuhan,
jika esok aku tidak bisa berlari,
biarlah aku tetap menulis.
Jika tangan ini tak lagi bisa mengetik,
biarlah pikiranku tetap merangkai cinta lewat doa.
Jika lidah ini kaku,
biarlah mata ini tetap memancarkan syukur.
(10)
Kesembuhan, bagiku kini bukan berarti
bisa kembali bekerja 12 jam sehari.
Kesembuhan, adalah saat aku bisa memeluk anakku
tanpa khawatir terjatuh.
Saat aku bisa mengunyah makanan pelan,
dan mengucap "Terima kasih, Tuhan" di antara gigitan.
Saat aku bisa bilang “Aku mencintaimu”
tanpa terbata oleh rasa malu.
(11)
Blog ini, Tuhan,
aku buat sebagai saksi bahwa
dalam runtuh pun, seseorang masih bisa berdiri.
Bahwa dalam gelap,
masih ada tangan kecil yang bisa menyalakan lentera.
Bahwa aku,
meski pernah dibaringkan oleh penyakit,
tidak pernah benar-benar dipatahkan.
(12)
Tuhan,
aku berdoa bukan cuma untukku,
tapi untuk mereka yang membaca ini.
Untuk mereka yang duduk di ruang isolasi.
Untuk mereka yang baru saja kehilangan gerak.
Untuk mereka yang menangis karena dunia tak lagi ramah.
Beri kami kekuatan untuk bangkit
meski pelan.
Beri kami keberanian untuk berharap
meski remuk.
(13)
Tuhan,
terima kasih atas tubuh ini,
meski tak sempurna.
Terima kasih atas rasa sakit,
yang mengajari arti ketangguhan.
Terima kasih atas istri yang setia
menyuapi aku tanpa keluh.
Terima kasih atas anak-anakku
yang memeluk meski aku tak bisa menggendong mereka lagi.
(14)
Dan jika suatu hari Engkau bertanya padaku:
"Apa yang kau lakukan setelah Aku izinkan kau hidup kembali?"
Maka aku akan menjawab:
"Aku menulis, Tuhan.
Untuk menyapa sesama penderita luka,
untuk menenun kembali semangat yang putus,
dan untuk memuliakan-Mu dalam kata-kata sederhana
yang lahir dari ranjang pemulihan."
(15)
Tuhan,
tak banyak yang bisa kulakukan,
selain menjadi saksi yang jujur
tentang hidup yang jatuh namun tak tamat.
Tentang tubuh yang retak namun tetap bisa berdoa.
Tentang jiwa yang ditarik kembali
untuk belajar mengasihi dari awal.
(16)
Maka biarlah malam ini menjadi sujud panjang.
Bukan di gereja, bukan di altar,
tapi di dalam tulang belakangku yang masih nyeri
namun tahu bahwa setiap detak jantung ini adalah anugerah.
Biar kesembuhanku datang bukan karena aku kuat,
tapi karena aku rela menjadi lemah di hadapan-Mu.
(17)
Aku tidak akan berjanji jadi sempurna, Tuhan.
Tapi aku berjanji untuk tetap hidup.
Untuk terus menulis.
Untuk terus mengucap syukur
meski lewat satu huruf,
satu langkah,
satu embusan napas.
(18)
Inilah doaku.
Inilah puisiku.
Inilah aku yang baru:
tidak cepat,
tidak gagah,
namun tetap bernyawa.
(Penutup)
Puisi ini ditulis sebagai doa kesembuhan pribadi berdasarkan pengalaman nyata Jeffrie Gerry, penyintas stroke yang kini menulis untuk membagikan harapan. Jika engkau sedang berjuang, semoga puisiku menjadi pelukan senyap untukmu.