Pengalaman Saya dengan Tekanan Darah Naik Turun
Ditulis dengan hati oleh Jeffrie Gerry, penyintas stroke
1. Pembukaan Emosional: Ketika Tubuh Memberi Isyarat, Tapi Saya Tak Mendengarnya
Pernahkah kamu merasa lelah padahal baru saja bangun tidur? Atau tiba-tiba merasa jantung berdebar tanpa sebab? Mungkin kamu menyangka itu hanya karena kurang istirahat. Atau karena stres kerja. Atau karena cuaca.
2. Penjelasan Inti: Tentang Tubuh, Tekanan Darah, dan Kesadaran yang Terlambat
Apa Itu Tekanan Darah Naik Turun?
Tekanan darah bukan sekadar angka. Ia adalah cerminan bagaimana tubuh kita bekerja, menanggapi apa yang kita makan, pikirkan, dan jalani setiap hari. Ketika tekanan darah naik, dinding pembuluh darah menanggung tekanan lebih dari seharusnya. Saat turun terlalu rendah, organ kita bisa kekurangan suplai darah. Dan jika ini terjadi berulang-ulang, tubuh kita menjadi bingung, rentan, dan mudah jatuh sakit.
Naik-turunnya tekanan darah bisa terasa seperti angin yang tak menentu. Kadang kepala terasa ringan, kadang dada berdebar. Kadang tidak terasa apa-apa—dan justru itulah bahayanya.
Penyebabnya Tidak Selalu Besar, Tapi Konsisten
Saya bukan perokok berat. Saya juga tidak suka makanan terlalu asin. Tapi saya sangat akrab dengan stres. Tekanan batin, beban kerja, rasa kecewa yang saya simpan sendiri—semuanya membentuk badai di dalam tubuh saya.
Lalu saya sadar, penyebab tekanan darah naik turun bukan hanya soal pola makan, tapi juga pola pikir dan pola hidup.
-
Kurang tidur membuat jantung bekerja lebih keras.
-
Cemas berlebihan memicu lonjakan tekanan secara tiba-tiba.
-
Terlalu banyak duduk, terlalu sedikit gerak.
-
Bahkan minum kopi tanpa cukup air putih bisa mengganggu kestabilan tubuh.
Saya tidak tahu semua itu dulu. Tapi sekarang saya belajar dengan cara yang cukup mahal—melalui sakit yang membuat saya kehilangan sebagian kendali atas tubuh saya.
Pengalaman Pribadi: Dari Lupa Periksa hingga Dihadapkan pada Fakta
Dulu saya berpikir, memeriksa tekanan darah itu untuk orang tua. Saya merasa masih kuat. Masih bisa beraktivitas. Tapi ternyata, kekuatan itu perlahan menipis, dan saya tak menyadarinya.
Saya mulai mengalami gejala-gejala aneh:
-
Pusing seperti melayang
-
Tangan kadang kesemutan, tapi hilang begitu saja
-
Jantung kadang berdebar saat sedang duduk santai
Tapi saya tetap menunda-nunda. Hingga satu hari, tubuh saya berhenti mendengarkan saya. Saya bicara tapi suara saya kacau. Saya mau berdiri tapi tubuh saya miring.
Rumah sakit jadi tempat pertama di mana saya benar-benar bertanya: Apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh saya?
Dan jawaban dokter itu sederhana tapi menghantam: Tekanan darah Anda sangat tidak stabil.
3. Ajakan Bertindak: Belajar Mendengar Tubuh, Sebelum Ia Berteriak
Setelah semua kejadian itu, saya mulai menjalani hidup dengan cara baru. Bukan berarti saya menjadi sempurna—tapi saya menjadi lebih sadar. Saya mulai mengenal tubuh saya lebih dalam. Saya mulai rutin memeriksa tekanan darah. Tidak menunggu sampai pusing. Tidak menunggu sampai jantung berdebar. Saya menjadikannya sebagai rutinitas kecil, sama seperti mencuci wajah atau menyisir rambut.
Karena ternyata, mengenal tubuh sendiri adalah bentuk cinta yang paling jujur.
Saya juga mulai mengubah beberapa hal, perlahan-lahan:
-
Saya kurangi konsumsi garam. Bukan karena dilarang, tapi karena tubuh saya berkata cukup.
-
Saya mulai berjalan kaki pagi hari. Tidak jauh, tapi konsisten.
-
Saya mulai berbicara ketika stres. Tidak memendam.
-
Saya belajar tidur lebih awal, dan bangun lebih perlahan.
-
Saya belajar memaafkan diri, dan tidak terus-menerus menekan diri untuk sempurna.
Tekanan darah naik turun memang tidak selalu bisa dihindari, tapi bisa dikendalikan. Dan pengendalian itu bukan hanya soal obat, tapi soal gaya hidup, kesadaran, dan kasih pada diri sendiri.
Hidup Ini Terlalu Berharga Untuk Dijalani Tanpa Perhatian
Mungkin kamu merasa sehat hari ini. Dan itu kabar baik. Tapi jangan jadikan rasa sehat itu sebagai alasan untuk mengabaikan apa yang tubuhmu coba sampaikan.
Kesimpulan yang Lembut: Jangan Tunggu Sakit Untuk Belajar Peduli
Dan saya tak ingin kamu melalui jalan yang sama.
Tekanan darah naik turun bukan kutukan. Ia adalah isyarat, sebuah pesan diam bahwa ada yang perlu diperbaiki. Dan saat kita mendengarkannya, kita sedang menolong diri kita yang di masa depan. Kita sedang melindungi senyum orang-orang yang mencintai kita.
Jika jawabannya belum, maka inilah saatnya.
PUISI-MONOLOG DOA PRIBADI: “DENYUT YANG TAK SELALU TENANG”
(Terinspirasi dari pengalaman hidup dengan tekanan darah naik turun)
Ya Allah...
aku datang kepada-Mu
tanpa mahkota
tanpa gelar
tanpa prestasi yang bisa kubanggakan
aku hanya membawa denyut yang tak selalu tenang
detakan yang kadang memuncak
kadang merunduk
kadang membuatku gemetar dalam tubuh sendiri.
Tuhan...
aku tak tahu kapan semuanya mulai berubah
dulu langkahku ringan
pikiranku lapang
malam terasa pendek
dan siang penuh gairah.
Kini...
aku mulai menghitung napas
menandai detik
memeriksa nadi
seolah tubuhku
adalah rumah yang sewaktu-waktu bisa roboh
bukan karena badai besar
tapi karena ayunan halus yang tak terduga.
**
Ya Allah...
kenapa tekanan ini bisa sesering itu naik dan turun?
apakah karena aku menampung terlalu banyak beban
yang tak pernah kutumpahkan di hadapan-Mu?
Aku lelah berpura-pura kuat, Tuhan
di hadapan keluarga
di hadapan teman
di hadapan dunia maya yang menyuruhku 'semangat' tanpa tahu
bahwa tubuhku sedang berusaha berdamai
dengan dirinya sendiri.
**
Aku sering merasa bersalah
karena tak bisa menepati janji
karena harus membatalkan rencana
karena tubuhku tiba-tiba tak sanggup.
Bahkan rasa bersalah itu
menggelinding jadi beban baru
yang memacu denyut kembali meninggi
seolah hatiku menyalakan alarm
yang tak bisa kumatikan sendiri.
**
Ya Rabb...
di malam-malam sepi
aku merenung:
apakah ini peringatan dari-Mu?
apakah ini cara-Mu mengajarkanku untuk melambat?
untuk berhenti berlomba dengan waktu?
untuk duduk sejenak
dan mengingat
bahwa hidup bukan tentang pencapaian
melainkan tentang kehadiran?
**
Tuhan...
aku rindu hadir penuh di hadapan anak-anakku
di hadapan pasanganku
di hadapan diriku sendiri.
Aku ingin menyeduh teh tanpa tergesa
menatap langit pagi tanpa terburu
dan menyapa dunia dengan senyum
yang lahir dari hati yang damai.
**
Namun kadang tubuhku menolak
tanganku dingin
dadaku sesak
mataku berkunang
dan aku hanya bisa berbaring
menunggu badai itu lewat
tanpa tahu kapan reda.
**
Tuhan,
apakah Kau marah karena aku terlalu lama mengabaikan alarm tubuhku?
karena aku menganggap istirahat sebagai kelemahan?
karena aku sibuk mengejar validasi
dan lupa mengeja kasih-Mu dalam detak jantungku?
**
Hari-hari ini aku belajar
bahwa tak semua yang naik itu baik
dan tak semua yang turun itu buruk.
Tekanan darahku bisa melonjak
saat aku marah
saat aku takut
saat aku merasa sendiri
saat aku lupa berserah.
Tapi juga bisa turun
saat aku belajar diam
saat aku mulai mendengarkan
saat aku mengalah
dan berkata:
“Tuhan, kendalikanlah... aku sudah tak mampu sendiri.”
**
Di ruang tunggu rumah sakit
aku melihat wajah-wajah yang serupa denganku
tak ada yang benar-benar ingin sakit
tapi kami sedang belajar menerima
belajar menghargai
bahwa satu hari tanpa keluhan
adalah hari yang patut dirayakan
bukan disia-siakan.
**
Ya Allah,
jika tekanan ini adalah bahasa tubuhku
untuk memberitahuku bahwa aku harus berubah
maka tuntunlah aku
ubah aku perlahan
jangan biarkan aku kembali pada pola lama
pada pola hidup yang melukai
di balik senyum palsu dan pencitraan.
**
Ajari aku bersyukur
bukan hanya saat sehat
tapi juga saat lemah
karena justru di titik lemah
aku benar-benar mencari wajah-Mu
dalam pelan detakan nadi
dalam keringat dingin
dalam doa lirih yang hanya Engkau dengar.
**
Tuhan,
aku tahu ini bukan akhir
aku belum selesai
aku belum menyerah
aku masih ingin hidup
bukan sekadar hidup
tapi hadir, penuh cinta
penuh makna
meski langkahku perlahan
meski tubuhku harus sering istirahat
aku ingin tetap berdaya.
**
Bimbing aku menjaga asupan
tapi lebih dari itu,
bimbing aku menjaga pikiran
agar tidak menumpuk kekhawatiran
yang meracuni
yang menyempitkan nadi
yang membuat jantung bekerja keras
untuk alasan-alasan yang sia-sia.
**
Ajari aku bersikap lembut kepada diriku sendiri
seperti Engkau yang tak pernah kasar padaku
meski aku sering mengabaikan peringatan-Mu
meski aku sering sok kuat
dan lupa bahwa semua ini
pada akhirnya kembali kepada-Mu.
**
Aku bersyukur, Tuhan
bahwa dalam naik turunnya tekanan darahku
aku justru belajar mengenal tubuh
mengenal hati
mengenal Engkau
bukan sebagai konsep
tapi sebagai Sumber.
Sumber dari segala ketenangan
Sumber dari setiap hembusan napas
Sumber dari detakan yang tak henti
Sumber dari kasih yang tak pernah naik-turun seperti tensiku.
**
Ya Allah,
terima kasih karena aku masih bisa bangun hari ini
masih bisa menulis
masih bisa merenung
masih bisa mendengar suaramu dalam hening
dalam pelan detak
yang berkata:
“Kau masih di sini, Nak. Aku bersamamu.”
**
Jika suatu saat tensiku melonjak lagi
ingatkan aku untuk tidak panik
untuk tenang
untuk mengambil napas panjang
dan mengingat bahwa Engkau lebih besar
dari angka di alat ukur
lebih besar dari rasa cemas yang menyesakkan.
**
Tuhan...
di malam ini aku tak meminta mukjizat besar
aku hanya ingin belajar berserah
dalam setiap naik dan turun
dalam setiap lemah dan kuat
dalam setiap harapan yang belum jadi nyata.
**
Aku tahu
jalan pulih ini panjang
kadang sunyi
kadang sepi
tapi aku tidak sendiri
karena Engkau ada di tiap denyutku
menemani
menguatkan
dan berkata:
“Aku tahu rasamu.”
**
Terima kasih, Tuhan
karena Kau tidak pernah meninggalkanku
di tengah detakan yang berisik
atau di tengah hening yang mencekam
Kau selalu ada
diam-diam
lembut
seperti pelukan dari langit
yang tak terlihat
tapi nyata.
Amin.
Artikel ini lahir dari pengalaman nyata penulis, Jeffrie Gerry, pasca pemulihan stroke dan hidup dengan tekanan darah yang naik-turun. Sebuah perjalanan yang tak selalu mulus, namun penuh kasih dan pengharapan.