Kisah Saya Berdamai dengan Obat Seumur Hidup

Lenyapkan Stroke
0


 Kisah Saya Berdamai dengan Obat Seumur Hidup

Oleh: Jeffrie Gerry


Pengantar: Kalimat Pahit dari Dokter Itu

Hari itu, saya duduk di ruang praktik dokter dengan kemeja lecek dan tubuh yang masih gemetar setelah berbulan-bulan bertarung dengan stroke. Napas saya masih pendek, tapi cukup untuk menangkap kalimat yang mengguncang dunia saya:

“Pak Jeffrie, ini bukan soal sembuh total. Tapi bagaimana bertahan. Obat ini... seumur hidup.”

Saya tersenyum kecut, seperti orang yang ditawari permen pahit setelah tenggorokannya terbakar. Seumur hidup? Saya baru 51 tahun waktu itu. Apakah saya harus bersahabat dengan obat, setiap pagi dan malam, sampai napas terakhir?

Jawabannya kini saya tahu: ya. Tapi bukan sekadar ‘ya’. Melainkan ‘ya yang penuh perlawanan, air mata, tawa getir, dan pada akhirnya... penerimaan’.

Inilah kisah saya berdamai dengan obat seumur hidup—bukan sebagai budak, tapi sebagai sahabat perjalanan menuju hidup yang lebih baik.


Bagian  1: Awalnya Saya Menolak, Karena Ego

Saya bukan orang yang asing dengan obat. Tapi saya juga bukan orang yang ingin tergantung padanya. Saya pernah menjadi kepala rumah tangga yang aktif, produktif, dan sok kuat. Stroke membuat saya tidak hanya jatuh, tapi juga dipaksa mengganti semua keyakinan lama. Termasuk keyakinan bahwa "obat hanya untuk yang lemah".

Dulu, saya pikir bisa melawan semuanya dengan pola makan dan doa. Saya bahkan pernah menyembunyikan obat dari istri saya dan bilang, “Aku bisa sembuh tanpa ini.” Tapi tubuh saya berkata lain. Tekanan darah saya meledak lagi. Otot-otot saya kaku lagi. Jalan kaki yang tadinya membaik jadi mundur lagi.

Tuhan seperti sedang berbisik: “Jangan terlalu sombong, Jeff.”


Bagian  2: Obat Itu Bukan Musuh, Tapi Penjaga Pintu

Saya mulai membaca ulang catatan dokter. Obat yang diberikan bukan kutukan, tapi pagar pembatas. Ia bukan penjara, tapi jembatan menuju kestabilan. Saya butuh itu. Bukan untuk menyembuhkan stroke yang sudah terjadi, tapi mencegah serangan berikutnya.

Menerima bahwa saya harus minum obat seumur hidup bukan kekalahan. Justru itu bentuk keberanian.

Setiap butir kecil pil yang saya telan, saya bayangkan seperti prajurit kecil. Mereka menjaga tekanan darah saya agar tidak melompat seenaknya. Mereka melindungi pembuluh darah saya agar tidak pecah seperti balon.

Dan setiap saya menelan mereka, saya tak lagi menyumpah dalam hati. Saya mengucap terima kasih.


Bagian 3: Mengubah Ritual Minum Obat Jadi Doa Kehidupan

Dulu, saya minum obat dengan wajah cemberut. Seperti anak kecil yang dipaksa makan brokoli. Tapi seiring waktu, saya mengganti ritual itu.

Setiap pagi, saya menatap gelas air putih dan berkata:
"Hari ini, aku memilih hidup."

Lalu saya minum obat dengan tenang.
Setiap malam, saya ulangi:
"Hari ini, tubuhku sudah berjuang. Terima kasih, Tuhan."

Saya mencatat di buku kecil tentang perasaan saya hari itu. Saya belajar bahwa berdamai dengan obat bukan sekadar soal medis, tapi spiritual. Ini tentang menerima kelemahan sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk menguatkan saya.


Bagian 4: Tantangan dari Luar – “Ah, Nggak Usah Obat Terus!”

Beberapa orang di sekitar saya kadang bilang:

“Obat kimia itu jahat, Mas.”
“Kalau iman kuat, gak perlu itu lagi.”
“Sudah, herbal saja, lebih alami.”

Saya tidak menolak herbal, tapi saya juga tidak mau jadi korban dari ketidaktahuan yang bersuara keras. Orang-orang ini tidak pernah mengalami tubuh yang mati sebelah. Mereka tidak tahu rasanya kehilangan keseimbangan saat berjalan. Mereka tak pernah tahu bagaimana takutnya saat melihat wajah sendiri tak simetris di cermin.

Saya berhenti menjelaskan. Saya hanya berkata, “Ini tubuh saya. Saya yang tahu rasa sakit dan saya juga yang memilih cara bertahan.”

Itulah titik di mana saya merasa menjadi kapten bagi kapal saya sendiri, meski ombak masih tinggi.


Bagian 5: Mencari Pola, Bukan Pelarian

Saya tidak ingin hanya hidup dari obat. Saya ingin hidup dengan cara yang membuat obat itu bekerja maksimal. Maka saya mulai mengatur ritme.

Saya tidur teratur. Bangun pukul lima pagi, lalu jalan kaki dengan tongkat gawang. Saya mulai makan tidak karena lapar mata, tapi karena tubuh butuh.

Saya pilih makanan yang mendukung kerja obat: rendah garam, tinggi serat, cukup protein.
Saya berhenti menyalahkan nasi, minyak, atau telur. Karena masalahnya bukan di mereka, tapi di jumlah dan cara saya memperlakukannya.

Obat tidak bisa bekerja sendirian. Tapi bila saya hidup dengan sadar, ia menjadi partner yang hebat.


Bagian 6: Saat Obat Jadi Simbol Harapan

Saya pernah merasa tergantung pada obat seperti candu. Tapi sekarang saya sadar, obat itu simbol bahwa saya masih punya harapan. Masih punya kesempatan.

Banyak orang tak sempat minum obat karena tak sempat hidup lebih lama.
Banyak yang menyerah lebih dulu.
Saya? Saya masih bisa menulis ini. Itu artinya saya diberi waktu.

Obat seumur hidup bukan kutukan. Tapi pengingat bahwa hidup saya masih berlanjut. Dan tiap detik berharga.


Bagian 7: Suatu Hari Nanti, Saya Akan Minum Obat... dengan Cucu Saya di Pangkuan

Saya punya impian yang sederhana sekarang. Bukan rumah mewah atau jabatan tinggi. Saya hanya ingin minum obat saya di pagi hari sambil melihat cucu saya berlari di halaman. Saya ingin meminum pil itu bukan dengan rasa duka, tapi dengan tawa.

Saya bayangkan cucu saya bertanya,

“Kakek, itu apa?”
Saya akan jawab,
“Ini tiket hidup kakek. Dengan ini, kakek bisa menulis, berjalan, mencintai, dan mendongeng buat kamu.”

Bayangan itu membuat saya semangat tiap hari.


Penutup: Damai Itu Diciptakan, Bukan Ditunggu

Tidak mudah berdamai dengan kenyataan bahwa obat akan menemani saya sampai ajal. Tapi saya memilih damai itu. Saya menciptakannya.

Saya tidak ingin hidup dengan rasa benci pada apa yang justru menyelamatkan saya. Saya tidak ingin menghabiskan hari-hari dalam ketakutan akan ketergantungan. Saya memilih cinta—cinta pada hidup, dan pada proses penyembuhan.

Obat seumur hidup? Ya. Tapi juga: hidup seumur harapan.


Artikel ini dibuat berdasarkan kisah nyata penulis pasca pemulihan stroke. Ditulis oleh Jeffrie Gerry, seorang penyintas stroke yang memilih menulis sebagai cara untuk sembuh dan menginspirasi.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)