Mengelola Stres Agar Stroke Tak Datang Lagi
Saya menulis ini bukan sebagai dokter, bukan ahli saraf, apalagi motivator yang hanya jago di panggung. Saya hanya seseorang yang pernah tersungkur oleh stroke dan sedang berusaha pulih. Artikel ini saya buat dengan jujur, berdasar pengalaman nyata. Bukan teori kosong.
Saya pernah kena stroke. Itu titik balik hidup saya. Tak ada yang bisa menggambarkan rasa ngeri ketika setengah tubuh lumpuh, bicara pelo, dunia berputar tak karuan, dan ketakutan kalau kematian menjemput malam itu juga. Tapi yang lebih menakutkan justru ketakutan lain: "Bagaimana kalau stroke datang lagi?"
Pertanyaan itu menghantui saya. Dokter bilang risiko stroke berulang itu nyata—dan salah satu pemicunya adalah stres.
Di sinilah saya mulai merenung. Kita bisa minum obat, jaga pola makan, olahraga ringan. Tapi bagaimana dengan stres? Obatnya tidak dijual di apotek. Tidak bisa cukup dengan resep.
Jadi, saya menulis untuk membagikan caranya saya pribadi belajar mengelola stres agar stroke tidak datang lagi.
Mengapa Stres Begitu Berbahaya Bagi Penyintas Stroke?
Kita sering anggap stres itu wajar. "Namanya juga hidup." Tapi kalau kita pernah kena stroke, stres itu bukan sekadar masalah emosi. Itu bisa memicu serangan ulang.
Saat stres, tubuh kita meningkatkan hormon kortisol dan adrenalin. Tekanan darah naik. Pembuluh darah menyempit. Jantung bekerja lebih keras. Semua ini meningkatkan risiko pecahnya pembuluh darah atau tersumbat lagi.
Saya ingat dokter berkata, "Pak, jaga pikiran. Kalau mau hidup lebih lama, harus bisa lebih tenang."
Waktu itu saya malah ingin marah. Gimana mau tenang? Tiba-tiba cacat. Ekonomi keluarga goyah. Harga obat mahal. Orang lain ngeluh hal sepele, saya bahkan susah berdiri sendiri.
Tapi saya sadar, kalau saya terus marah dan stres, itu sama saja gali lubang sendiri. Jadi saya pelan-pelan belajar.
1. Mengenali Sumber Stres
Langkah pertama yang saya pelajari: sadarilah apa yang bikin stres.
Kita sering menyangkal. Bilang "enggak papa", padahal batin mendidih.
Dulu saya stres karena:
-
Trauma takut stroke lagi
-
Khawatir tidak bisa kerja seperti dulu
-
Cemas kalau jadi beban keluarga
-
Malu pada orang sekitar
-
Pengeluaran obat dan terapi
Dengan tahu apa pemicunya, saya bisa berpikir: yang mana yang bisa diubah? Yang mana yang harus saya terima?
2. Berlatih Menerima Hal yang Tidak Bisa Diubah
Ini terdengar pasrah, tapi bukan berarti kalah.
Saya tidak bisa kembali ke tubuh yang 100% normal dalam semalam. Saya tidak bisa memaksa orang mengerti rasa sakit saya. Saya tidak bisa mengontrol komentar orang.
Bukan menyerah, tapi menerima. Ketika berhenti melawan hal yang di luar kuasa kita, stres berkurang. Energi yang tadinya untuk marah, bisa dipakai buat hal lain.
3. Mengatur Napas dan Pikiran Saat Emosi Meninggi
Saya dulu cepat naik pitam. Gampang sekali tersinggung. Orang bilang "sabar", malah saya marah lebih keras.
Fisioterapis saya mengajarkan teknik sederhana:
-
Tarik napas perlahan 4 hitungan
-
Tahan 2 hitungan
-
Buang perlahan 6–8 hitungan
-
Ulang beberapa kali
Kelihatannya sepele. Tapi waktu hati panas, cara ini bisa mencegah tekanan darah melompat.
Saya juga belajar mengenali tanda-tanda mau marah: suara meninggi, dada panas, tangan gemetar. Ketika tanda itu muncul, saya diam. Mundur. Tidak langsung balas ngomong.
Karena satu kalimat kasar bisa bikin kita menyesal. Dan penyesalan itu malah menambah stres.
4. Membatasi Pikiran Negatif yang Berulang
Penyintas stroke sering dihantui pikiran menakutkan:
-
"Bagaimana kalau kena lagi?"
-
"Saya sudah cacat."
-
"Hidup saya hancur."
Saya pun begitu. Kadang malam-malam susah tidur karena bayangan serangan ulang.
Saya tidak bisa melarang pikiran itu muncul. Tapi saya belajar tidak melayaninya lama-lama.
Atau saya alihkan: mendengar musik tenang, membaca renungan rohani, menulis.
Bukan berarti saya mengabaikan masalah. Tapi saya tidak biarkan pikiran itu mendominasi hidup saya.
5. Melakukan Aktivitas Ringan yang Membuat Senang
Dulu saya merasa tidak pantas bersenang-senang. "Orang cacat kok mau senang-senang."
Pandangan itu salah. Justru kita butuh momen ringan untuk menjaga mental.
Saya mulai lakukan hal-hal kecil yang menyenangkan:
-
Merawat tanaman
-
Mendengarkan musik lawas
-
Menggambar
-
Membaca cerita ringan
-
Bercanda dengan cucu
Aktivitas kecil ini menurunkan stres. Dan yang penting, memberi alasan untuk bangun setiap pagi.
6. Belajar Berkata “Tidak”
Salah satu sumber stres saya adalah tidak enakan. Saya ingin membuktikan ke orang bahwa saya "masih kuat". Jadi semua diminta, saya iyakan.
Akhirnya kecapekan. Marah sendiri. Tekanan darah naik.
Saya belajar bilang "tidak":
-
"Maaf saya tidak sanggup."
-
"Saya butuh istirahat."
-
"Saya tidak bisa bantu sekarang."
Awalnya berat. Takut dibilang sombong atau malas. Tapi setelah itu, hati lebih tenang.
Kita bukan robot. Tubuh kita perlu dijaga. Stroke mengajarkan saya satu hal penting: prioritaskan kesehatan dulu.
7. Memilih Lingkungan yang Mendukung
Ada orang-orang yang membuat kita makin stres:
-
Suka menghakimi
-
Meremehkan
-
Menyebarkan ketakutan
-
Mengeluh tanpa solusi
Dulu saya pikir saya wajib mendengarkan semua orang.
Sekarang saya sadar saya boleh memilih. Saya mengurangi interaksi dengan orang yang selalu negatif.
Bukan memutus silaturahmi sepenuhnya, tapi menjaga jarak yang sehat.
Sebaliknya, saya lebih dekat dengan orang-orang yang:
-
Mendengarkan tanpa menghakimi
-
Memberi semangat
-
Membuat saya tertawa
Karena dukungan sosial adalah obat yang tidak dijual di apotek.
8. Membuat Rutinitas Harian yang Menenangkan
Setelah stroke, hidup rasanya tidak teratur. Tidur tidak tentu. Makan seenaknya.
Semua itu menambah stres.
Saya mulai membuat jadwal harian sederhana:
-
Bangun, bersih diri
-
Sarapan sehat
-
Latihan fisio ringan
-
Waktu istirahat
-
Aktivitas menyenangkan
-
Tidur cukup
Rutinitas membuat hidup terasa lebih terkendali. Saya tidak terlalu banyak waktu mengkhawatirkan hal yang tidak perlu.
9. Menjaga Hubungan dengan Tuhan
Saya tidak mau munafik. Saat stroke menyerang, saya sempat marah pada Tuhan. Kenapa saya? Apa salah saya?
Tapi pelan-pelan saya kembali mendekat.
Saya belajar berdoa bukan hanya minta kesembuhan. Tapi minta ketenangan.
Saya baca ayat-ayat penghiburan. Saya menangis di hadapan Tuhan.
Saya belajar bersyukur untuk hal-hal kecil. Napas yang masih bisa saya tarik. Langkah yang masih bisa saya ayunkan. Senyum keluarga.
Hubungan dengan Tuhan memberi saya harapan.
Tanpa itu, saya hanya orang lumpuh yang menunggu mati. Dengan itu, saya orang yang masih punya tujuan.
10. Mencari Bantuan Profesional Jika Perlu
Kadang kita terlalu bangga untuk mengaku perlu bantuan.
Saya juga dulu berpikir:
-
"Saya harus kuat sendiri."
-
"Nanti dibilang gila kalau ke psikolog."
Padahal itu salah besar.
Konseling itu bukan untuk orang "gila". Itu untuk orang yang ingin sehat.
Kalau stres sudah berat, mengganggu tidur, membuat putus asa, lebih baik bicara dengan profesional.
Banyak rumah sakit menyediakan layanan psikologi. Bahkan beberapa puskesmas punya konselor.
Saya pernah mencoba. Rasanya lega bisa bercerita tanpa dihakimi.
11. Mengelola Ekspektasi Keluarga dan Diri Sendiri
Kadang keluarga menuntut kita pulih lebih cepat. Kadang kita sendiri menuntut terlalu tinggi.
Saya pernah stres karena merasa gagal. Kenapa belum bisa jalan jauh? Kenapa tangan belum sekuat dulu?
Saya belajar mengelola ekspektasi:
-
Menghargai kemajuan kecil
-
Mengingatkan keluarga bahwa pemulihan butuh waktu
-
Mengkomunikasikan keterbatasan saya
Ketika ekspektasi lebih realistis, stres jauh berkurang.
12. Membangun Harapan untuk Masa Depan
Stroke menghancurkan banyak rencana. Tapi bukan berarti hidup selesai.
Saya menulis target baru:
-
Bisa jalan tanpa tongkat dalam setahun
-
Bisa menulis artikel seperti ini
-
Bisa mengajar cucu membaca
Harapan kecil memberi semangat.
Tanpa harapan, stres terasa tak tertahankan. Dengan harapan, kita bisa bertahan satu hari lagi.
Penutup: Ini Perjalanan yang Tidak Instan
Mengelola stres bukan hal sekali jadi. Ini latihan seumur hidup.
Kadang saya masih meledak marah. Kadang saya masih menangis ketakutan. Tapi sekarang saya sadar: semua itu normal.
Bedanya, sekarang saya lebih cepat sadar dan mencoba memperbaiki.
Kalau saya boleh berbagi satu hal pada sesama penyintas stroke: jangan anggap mengelola stres itu hal sepele. Itu sama pentingnya dengan obat, terapi, pola makan.
Karena pikiran yang damai bisa memperpanjang hidup kita. Bisa mencegah stroke datang lagi.
Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke: Jeffrie Gerry.