Membuat Rutinitas Harian Anti-Stroke Versi Saya
Oleh Jeffrie Gerry
Saya tidak pernah membayangkan bahwa hidup saya akan terbagi dua: sebelum stroke dan setelah stroke.
Dulu saya bangun tanpa pikir panjang. Langsung buka ponsel, minum kopi instan, kadang belum sarapan sudah buru-buru ke luar rumah. Makan siang? Sering di luar, tanpa pertimbangan gizi. Malam? Capek, tidur larut, kadang tanpa cuci kaki atau berdoa. Hidup saya otomatis, bukan reflektif. Aktif, tapi tak sadar.
Sampai akhirnya Tuhan “menepuk pundak saya” melalui serangan stroke ringan pada 8 Mei. Saya terjatuh di kamar. Separuh tubuh saya kebas. Dunia melambat, dan untuk pertama kalinya saya benar-benar sadar: tubuh ini bisa berhenti bekerja kapan saja kalau saya tidak menjaganya.
Dari situlah saya mulai menyusun, perlahan namun mantap, rutinitas harian anti-stroke versi saya sendiri. Rutinitas yang tidak hanya menjaga tubuh, tapi juga hati dan jiwa. Bukan rutinitas yang dipaksa, tapi yang dirawat dengan kesadaran.
Dalam artikel ini, saya akan membuka semuanya: pagi saya, siang saya, malam saya — bukan sebagai “aturan hidup” orang lain, tapi sebagai inspirasi yang lahir dari luka dan cinta.
1. Pagi Hari: Menyambut Hidup, Bukan Mengejar Dunia
Dulu, pagi saya adalah ajang kompetisi. Sekarang, pagi saya adalah saat berdamai dengan kehidupan.
🔹 Bangun dengan Doa
🔹 Minum Air Hangat
Segelas air hangat dengan irisan lemon atau sejumput garam Himalaya. Bukan hanya untuk detoks, tapi sebagai ritual lembut membangunkan tubuh.
🔹 Stretching Ringan di Tempat Tidur
Saya pelajari dari fisioterapis bahwa tubuh yang baru bangun perlu diperkenalkan ulang ke dunia. Jadi saya gerakkan jari kaki, leher, bahu, dan tangan — perlahan, penuh kasih.
🔹 Jalan Pagi 15–30 Menit
Dengan tongkat, saya berjalan. Di teras, di gang, atau keliling halaman. Bukan maraton, tapi meditasi. Setiap langkah adalah perayaan. Jalan pelan lebih baik daripada duduk diam.
🔹 Sarapan Anti Stroke
Sarapan saya bukan mewah, tapi bernutrisi:
-
Oatmeal tanpa gula, diberi kayu manis
-
Pepaya segar atau pisang
-
Telur rebus satu butir
-
Minum air putih atau infused water
Saya tinggalkan kopi manis dan nasi uduk pagi hari, demi pembuluh darah yang lebih bahagia.
2. Siang Hari: Tetap Aktif, Tapi Bijak Mengatur Energi
Banyak yang berpikir penderita stroke harus istirahat total. Tapi saya percaya: gerak adalah bagian dari penyembuhan. Hanya saja, bukan gerak sembarangan.
🔹 Jadwal Harian yang Terukur
Saya buat jadwal harian. Tidak padat, tapi teratur. Ada waktu menulis, membaca, membuat konten edukatif, bahkan membantu istri menyiram tanaman.
🔹 Makan Siang Seimbang
Menu saya sederhana:
-
Nasi merah atau kentang kukus
-
Sayur bening atau tumis tanpa MSG
-
Tempe bakar, ayam kukus, atau ikan pepes
-
Buah potong
Makan dengan perlahan, tanpa TV, tanpa tergesa-gesa. Saya kunyah makanan bukan cuma untuk gizi, tapi sebagai bentuk perhatian pada tubuh.
🔹 Waktu Tidur Siang Singkat
15–30 menit tidur siang adalah investasi besar untuk jantung dan otak. Saya tidak malu tidur siang. Bahkan Yesus pun pernah tidur di perahu. Mengistirahatkan tubuh bukan tanda malas, tapi tanda tahu batas.
3. Sore Hari: Menyambut Senja dengan Sadar
Sore adalah waktu refleksi. Bukan waktu menyesal, tapi mengolah hari.
🔹 Jalan Kecil Lagi atau Duduk Sambil Bergerak
Saya kadang berjalan pelan, atau hanya menggerakkan kaki sambil duduk. Yang penting darah tidak stagnan. Stroke terjadi bukan hanya karena tekanan darah tinggi, tapi juga sirkulasi yang tidak lancar.
🔹 Aktivitas Kecil yang Menyenangkan
Saya menulis blog. Membalas pesan dari pembaca. Menulis puisi. Bermain gitar. Semuanya bukan pekerjaan, tapi perpanjangan rasa syukur.
🔹 Camilan Sehat
Buah potong, kacang rebus, atau yoghurt tanpa gula. Saya tinggalkan keripik dan kue-kue pasar yang dulu akrab. Karena hidup bukan soal lidah saja, tapi juga soal umur.
4. Malam Hari: Menutup Hari dengan Damai
Dulu saya tidur setelah scroll media sosial sampai dini hari. Sekarang saya tidur setelah berdamai dengan hari itu.
🔹 Makan Malam Ringan
Porsi kecil, banyak sayur. Tidak terlalu malam. Saya beri waktu minimal 2 jam antara makan malam dan tidur. Perut kenyang bukan jaminan tidur nyenyak.
🔹 Jurnal Malam
🔹 Tidur Awal
Pukul 9 atau 10 malam saya sudah rebahan. Tanpa gadget. Kadang sambil mendengarkan pujian rohani atau doa tidur. Tidur adalah pengingat bahwa saya bukan Tuhan, saya boleh istirahat.
5. Apa yang Saya Hindari Setiap Hari
-
Tidak mengonsumsi makanan tinggi garam, gula, dan lemak trans
-
Tidak duduk terlalu lama tanpa berdiri
-
Tidak menyimpan marah, kecewa, atau stres terlalu lama
-
Tidak begadang
-
Tidak merasa "tidak enak hati" saat harus menolak makanan berisiko
-
Tidak memaksakan diri menyenangkan semua orang — karena tubuh saya prioritas
6. Rutinitas Bukan Penjara, Tapi Rangka Kasih
Banyak orang alergi dengan kata rutinitas karena terdengar membosankan. Tapi bagi saya, rutinitas adalah struktur cinta.
Dengan rutinitas, saya tidak lagi dikuasai rasa takut stroke. Tapi saya juga tidak ceroboh. Saya berada di tengah: hidup penuh perhatian, tapi tetap bisa tersenyum.
7. Bonus: Doa Harian Saya untuk Menjaga Diri
Sebagai penutup hari, saya sering mengucap doa ini:
“Tuhan, terima kasih untuk tubuh ini.Meski pernah patah, kini ia belajar bangkit.Ajari aku menjaga, bukan karena takut mati,tapi karena aku ingin hidup seturut rencana-Mu.Beri aku kebijaksanaan, bukan hanya kekuatan.Dan bila hari ini tubuhku lelah,hiburkanlah aku dengan damai dari-Mu.”
8. Hasil dari Rutinitas Ini Setelah 60 Hari
Saya tidak hanya merasa lebih sehat, tapi juga lebih hidup:
-
Tekanan darah saya stabil tanpa obat yang berlebihan
-
Saya bisa berjalan tanpa bantuan di pagi hari
-
Saya menulis lebih produktif dari sebelumnya
-
Saya lebih tenang menghadapi stres
-
Saya lebih mengenal tubuh saya sendiri, dan belajar memperlakukannya sebagai sahabat, bukan mesin yang harus dipaksa
Saya tak bilang ini resep sempurna. Tapi ini nyata. Ini bukan teori. Ini adalah jalan pulang saya dari kelumpuhan menuju kehidupan.
9. Ajakan untuk Kamu yang Membaca
Buatlah rutinitasmu sendiri. Tak harus sama dengan saya. Tapi buatlah dari tempat cinta, bukan dari tempat ketakutan.
Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke, Jeffrie Gerry.