Saya Pernah Takut Kambuh: Cara Saya Mengatasinya

Lenyapkan Stroke
0

 




SAYA PERNAH TAKUT KAMBUH: CARA SAYA MENGATASINYA

Saya menulis ini bukan dengan gaya dokter ahli, bukan juga dengan bahasa motivator panggung yang sering bilang “ayo semangat” tanpa tahu rasanya. Saya menulis sebagai orang biasa. Orang yang pernah kena stroke. Orang yang benar-benar pernah merasa takut—bukan takut biasa, tapi takut luar biasa—bahwa penyakit itu akan datang lagi.

Stroke itu bukan seperti demam yang hilang dengan parasetamol. Bukan seperti flu yang dalam seminggu selesai. Stroke meninggalkan bekas. Di tubuh. Di pikiran. Di hati.

Dan yang paling berat, jujur saya katakan, adalah rasa takut kambuh.

Tulisan ini adalah cerita saya. Pengalaman saya. Bagaimana saya mengakui ketakutan itu, memeluknya, lalu mencoba hidup berdamai dengannya. Dan di bagian-bagian berikut saya ingin jujur—sangat jujur—tentang cara saya menghadapinya.

Bukan berarti sekarang saya kebal takut. Saya masih takut. Tapi bedanya: sekarang saya bisa mengelola ketakutan itu. Saya hidup bersamanya tanpa dikendalikan olehnya.


1. Mengakui Kalau Saya Takut

Dulu saya menyangkal.

"Enggak lah, saya kuat."
"Saya enggak takut, saya pasrah sama Tuhan."
"Apa yang mau ditakuti, kalau waktunya ya waktunya."

Padahal di dalam hati, saya gemetar.

Setiap kali merasakan kepala berat sedikit, saya langsung tegang. Kalau kaki kesemutan, saya panik. Saya cek tekanan darah berkali-kali. Saya cemas malam-malam sampai susah tidur. Saya waswas kalau besok saya lumpuh lagi.

Tapi saya malu mengakuinya.

Saya kira kalau saya bilang takut, saya akan terlihat lemah. Saya tidak mau keluarga tambah khawatir.

Sampai akhirnya saya sadar: menyangkal ketakutan tidak membuatnya hilang. Itu hanya membuatnya tumbuh diam-diam, menekan saya dari dalam.

Jadi langkah pertama saya: saya bilang ke diri sendiri—saya takut.

Saya akui. Saya berhenti sok kuat.

Dan anehnya, begitu saya jujur, saya merasa lebih lega.

Ketakutan yang diakui itu bisa dipelajari. Kalau kita mengakuinya, kita bisa menanganinya.


2. Memahami Dari Mana Rasa Takut Itu Datang

Rasa takut saya bukan tanpa alasan.

Saya pernah stroke. Itu nyata. Saya tahu rasanya.

Saya tidak bisa bilang “hal itu tidak mungkin terjadi.” Faktanya: bisa. Risiko stroke kedua lebih besar pada penyintas stroke.

Jadi wajar saya takut.

Saya belajar tidak lagi bilang: "Jangan takut, itu konyol."

Sebaliknya saya bilang: "Aku takut karena aku pernah mengalaminya. Itu tanda aku sadar dan waspada."

Saya belajar membedakan:

  • Takut yang sehat (membuat saya lebih hati-hati, jaga pola makan, olahraga ringan, minum obat teratur)

  • Takut yang berlebihan (membuat saya tidak tidur, cemas tanpa henti, tidak menikmati hidup)

Saya berusaha menjinakkan takut yang kedua. Tapi saya pertahankan takut yang pertama.

Karena takut yang sehat itu penting. Itu alarm. Itu pengingat.


3. Berbicara Tentang Ketakutan

Saya orang yang sulit cerita. Apalagi soal kelemahan saya sendiri.

Tapi saya belajar pelan-pelan.

Saya cerita ke istri saya. Awalnya dia bilang: "Kamu jangan takut, harus kuat."

Saya bilang: "Aku cuma mau cerita. Aku takut."

Saya tidak minta dia menghapus ketakutan itu. Saya hanya ingin dia mendengar.

Saya juga cerita ke teman yang juga penyintas stroke. Dia bilang: "Saya juga begitu. Kadang ketakutan itu muncul malam-malam."

Mendengar orang lain punya ketakutan sama membuat saya tidak merasa aneh. Tidak sendirian.

Kadang hanya dengan bercerita, kita bisa mengurangi beban. Ketakutan yang disimpan sendiri tumbuh seperti hantu. Kalau dibicarakan, dia jadi lebih kecil, lebih bisa dipahami.


4. Mencatat Pikiran dan Emosi

Saya mulai menulis di buku.

Setiap kali rasa takut muncul, saya tulis:

  • Saya takut hari ini

  • Saya takut kalau stroke datang saat saya sendirian

  • Saya takut jadi beban keluarga

  • Saya takut kehilangan kemampuan bicara

Menulis membuat saya sadar betapa banyak ketakutan saya yang tidak pernah saya ucapkan.

Dengan menulis, saya belajar memilah:

  • Mana ketakutan realistis

  • Mana ketakutan berlebihan

  • Mana hal yang bisa saya kontrol

  • Mana yang di luar kuasa saya

Kadang setelah menulis, saya membaca ulang. Saya senyum. "Ah, ini ternyata cuma kekhawatiran saya sendiri."

Tulisan menjadi cermin. Membantu saya melihat isi kepala dengan lebih jernih.


5. Menerima Bahwa Saya Tidak Bisa Mengontrol Segalanya

Ini pelajaran tersulit.

Saya ingin memastikan stroke tidak akan pernah kambuh. Tapi kenyataan pahit: saya tidak bisa jamin itu.

Saya bisa mengurangi risikonya—dengan minum obat, makan sehat, olahraga, kontrol stres. Tapi tidak ada jaminan mutlak.

Awalnya ini membuat saya stres. Saya ingin kepastian.

Tapi saya belajar satu hal penting: hidup tidak menawarkan jaminan. Bahkan orang yang sehat bisa kena stroke mendadak.

Saya mulai berdoa, bukan minta dijauhkan total dari stroke, tapi minta diberi kekuatan untuk menjalani hidup, apapun yang terjadi.

Saya minta diberi ketenangan menghadapi ketidakpastian.

Dengan menerima bahwa saya tidak mengontrol segalanya, saya bisa melepaskan sebagian ketegangan di hati.


6. Membangun Rutinitas yang Menenangkan

Rasa takut sering muncul ketika hidup saya kacau.

Tidur larut, bangun siang, makan tidak teratur. Itu semua membuat pikiran mudah gelisah.

Jadi saya buat rutinitas sederhana:

  • Bangun pagi

  • Cuci muka, bersih-bersih diri

  • Sarapan sehat

  • Jalan pagi pelan-pelan

  • Istirahat siang

  • Aktivitas ringan: baca buku, merawat tanaman

  • Tidur cukup

Rutinitas memberi saya rasa aman.

Dengan jadwal yang teratur, saya tidak memberi ruang terlalu banyak untuk pikiran kacau.


7. Belajar Mengelola Stres

Saya sadar salah satu pencetus stroke adalah stres. Dan stres juga memperburuk ketakutan.

Jadi saya mulai belajar teknik sederhana:

  • Tarik napas dalam 4 hitungan

  • Tahan 2 hitungan

  • Buang perlahan 6–8 hitungan

  • Ulang 5–10 kali

Saya lakukan ketika panik.

Saya juga belajar berhenti ketika marah. Dulu saya gampang emosi. Sekarang saya lebih sering diam, menarik napas, menunda reaksi.

Saya belajar bilang “tidak” ke orang lain jika saya lelah. Saya berhenti sok kuat.

Dengan mengelola stres, saya tidak hanya menjaga tekanan darah, tapi juga meredam rasa takut.


8. Membatasi Hal yang Memicu Kecemasan

Saya dulu suka baca berita tentang orang kena stroke mendadak. Saya juga lihat grup WA keluarga yang sering share cerita menakutkan: "Hati-hati stroke mendadak!"

Awalnya saya pikir itu membuat saya waspada. Tapi ternyata malah membuat saya ketakutan.

Saya memutuskan membatasi:

  • Menghindari berita medis yang menakutkan

  • Keluar dari grup WA yang isinya horor kesehatan

  • Tidak membaca artikel tentang orang muda mati mendadak

Bukan berarti saya menolak kenyataan. Saya sudah tahu risikonya. Tapi saya tidak mau diracuni ketakutan setiap hari.

Saya memilih informasi yang menenangkan. Saya baca buku rohani. Saya dengar lagu yang lembut.

Saya atur asupan untuk pikiran. Sama seperti saya atur makanan untuk tubuh.


9. Memberi Diri Saya Ruang untuk Menikmati Hidup

Setelah stroke, saya merasa hidup saya sempit.

Saya takut pergi jauh. Takut kalau stroke kambuh di jalan. Jadi saya hanya di rumah.

Tapi terlalu lama di rumah membuat saya jenuh, bosan, dan itu memicu pikiran negatif.

Jadi saya mulai pelan-pelan keluar.

Jalan ke taman dekat rumah. Duduk di bangku sambil lihat langit. Ngobrol dengan tetangga.

Saya juga belajar menikmati hal kecil:

  • Merasakan hangat matahari pagi

  • Mendengar suara burung

  • Melihat cucu tertawa

Saya bilang ke diri sendiri: Aku berhak bahagia meski pernah stroke.

Takut tidak boleh merampas kebahagiaan saya.


10. Bersandar pada Tuhan

Saya tidak munafik. Ketika stroke menyerang saya pertama kali, saya marah pada Tuhan.

"Kenapa saya?"
"Saya tidak pernah merokok."
"Saya tidak layak menderita begini."

Tapi seiring waktu, saya pelan-pelan kembali berdoa.

Saya tidak lagi meminta: "Jangan kasih saya stroke lagi."
Saya minta: "Berilah saya ketenangan. Berilah saya kekuatan menjalani apapun."

Doa tidak membuat ketakutan saya hilang total. Tapi doa membuat saya ditemani.

Saya tidak merasa sendiri.

Saya merasa ada yang mendengar. Ada yang memahami.

Saya juga belajar bersyukur. Bukan karena saya bebas penyakit, tapi karena saya masih diberi kesempatan memperbaiki diri.


11. Mencari Dukungan

Saya dulu malu ikut kelompok stroke. Malu bilang saya penyintas.

Tapi saya mencoba. Saya ikut pertemuan online. Saya membaca cerita orang lain.

Saya lihat mereka juga takut. Saya bukan satu-satunya.

Dan saya belajar dari mereka:

  • Bagaimana mereka menghadapi kontrol rutin

  • Bagaimana mereka menenangkan diri

  • Bagaimana mereka bangkit dari keputusasaan

Saya tidak harus melawan sendiri.

Saya juga belajar terbuka pada keluarga. Saya bilang ke anak-anak: "Kalau nanti ayah kumat lagi, jangan panik. Hubungi rumah sakit."

Kami latihan.

Dengan begitu, saya tidak takut sendirian menghadapi kemungkinan terburuk.


12. Menjaga Harapan

Takut itu membunuh harapan.

Dulu saya pikir: "Buat apa merencanakan? Nanti kena stroke lagi."

Saya belajar melawan itu. Saya tulis harapan kecil:

  • Bisa jalan lebih jauh

  • Bisa menulis artikel seperti ini

  • Bisa berkebun

  • Bisa melihat cucu besar

Harapan membuat saya semangat bangun pagi.

Tanpa harapan, hidup cuma menunggu kambuh. Dengan harapan, hidup tetap berarti meski penuh ketidakpastian.


Penutup: Hidup Bersama Ketakutan, Bukan Diperbudak Olehnya

Saya tidak menulis ini untuk bilang saya sudah bebas takut.

Saya masih takut. Kalau kepala saya pusing sedikit, jantung saya berdebar. Kalau tangan kesemutan, saya panik.

Tapi sekarang saya tahu: itu wajar. Itu manusiawi.

Saya belajar hidup berdampingan dengan ketakutan. Saya jadikan dia pengingat untuk hidup lebih sehat, lebih tenang, lebih bersyukur.

Saya tidak biarkan ketakutan itu mencuri hidup saya.

Kalau kamu juga pernah stroke dan takut kambuh lagi, saya ingin bilang: kamu tidak sendirian. Takutmu bukan kelemahan. Itu tanda kamu ingin hidup.

Dan kalau kita mau belajar, kita bisa hidup berdamai dengannya. Kita bisa tetap bahagia, meski tidak ada jaminan bebas stroke selamanya.


Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke: Jeffrie Gerry.


PUISI MONOLOG: DOA KESEMBUHAN

Tuhan,
dengarkan aku malam ini.
Aku tak hendak memamerkan iman
yang sok kuat dan kokoh
sementara jantungku berdebar
setiap kali kuingat kata itu:
stroke.

Aku tidak ingin menipu-Mu
dengan doa yang penuh kalimat indah,
tapi kosong dari kejujuran.
Maka aku datang,
telanjang dalam kelemahan,
mengaku:
aku takut.

Aku takut, Tuhan.
Aku sangat takut.
Takut kalau pagi tak sempat kucium pipi cucuku.
Takut kalau malam ini
tangan kananku mati rasa
dan esok aku tak bisa memeluk istriku.
Takut kalau aku menjadi beban,
disuapi, dimandikan,
dipandang kasihan.
Aku takut menjadi hina,
bukan di mata-Mu,
tapi di mataku sendiri.
Aku takut kehilangan harga diriku
yang kerap kupertahankan dengan sisa-sisa tenaga.

Aku berseru malam ini
bukan untuk meminta janji palsu
bahwa aku takkan pernah kambuh.
Aku tahu dunia tak seperti itu.
Aku tahu tubuh ini rapuh.
Usia tak bisa dibohongi.
Penyakit tak selalu tunduk pada obat.
Aku tidak minta Kau sulap semua normal.
Aku hanya mohon:
ajarkan aku menerima.

Ajarkan aku menerima hal-hal
yang di luar kuasaku.
Ajarkan aku berdamai dengan ketidakpastian.
Ajarkan aku berserah
bukan sebagai bentuk kalah,
tapi sebagai bentuk bijak
yang tahu batas diri.

Tuhan,
lihat aku yang pernah keras kepala
menolak nasihat dokter,
lupa minum obat,
marah kalau diingatkan.
Aku malu, Tuhan.
Aku malu pada sikap bebalku.
Tapi lebih malu lagi
kalau tak kucoba berubah.

Maka hari ini aku berdoa:
lunakkan hatiku.
Biar aku menunduk
dan minum obat tanpa mengeluh.
Biar aku mendengar larangan makan asin
tanpa mendebat.
Biar aku menahan diri
saat makanan lezat menantang.
Kuatkan tekadku
untuk menjaga tubuh
yang Kau titipkan.

Aku takut, Tuhan.
Aku ulang lagi:
aku takut.
Tapi aku tak mau takutku ini membunuhku
sebelum stroke melakukannya.
Aku mohon, Tuhan:
ajarkan aku memilah takut
yang sehat dari yang merusak.
Biar takut ini menjadi alarm,
bukan borgol.
Biar ia membimbing,
bukan mencekik.

Aku ingin bisa berkata pada diriku sendiri:
"Wajar kau takut.
Itu artinya kau masih mau hidup.
Itu artinya kau peduli."
Ajarkan aku memeluk takutku
seperti sahabat yang mengingatkan.
Bukan musuh yang harus kupukul.
Karena aku lelah berperang dengan diriku.
Aku ingin damai.

Ajarkan aku berbicara, Tuhan.
Berbicara pada istri.
Pada anak.
Pada teman.
Aku yang pendiam,
yang gengsi,
yang selalu ingin dianggap kuat,
aku mohon hancurkan tembok itu.
Biarkan air mata ini mengalir.
Biarkan mulut ini mengaku:
"Aku takut."
Karena aku tahu
aku tak bisa memanggul ini sendirian.
Aku mohon Kau kirimkan telinga-telinga
yang mendengar tanpa menghakimi.

Ajarkan aku menulis, Tuhan.
Menulis ketakutan di buku.
Menulis mimpi yang tertunda.
Menulis marah yang kupendam.
Karena dengan menulis
aku bisa menumpahkan beban
yang terlalu berat untuk dipikul pikiran.
Jadikan pena sebagai doa,
kertas sebagai saksi.
Biar setiap kalimat menjadi terapi,
setiap paragraf menjadi pelipur lara.

Aku mohon juga, Tuhan,
ajarkan aku memaafkan.
Memaafkan diriku
yang dulu lalai.
Yang dulu keras kepala.
Yang menolak perubahan.
Yang menolak kelemahan.
Aku mohon jangan biarkan aku terus menghukum diri
karena hal yang tak bisa kuubah.
Berilah aku kebesaran hati
untuk berdamai dengan masa lalu.
Karena masa lalu sudah lewat.
Yang kupunya hanya sekarang.

Dan sekarang, Tuhan,
aku ingin lebih baik.
Aku ingin bangun pagi
dan memulai hari dengan doa.
Aku ingin makan yang benar.
Aku ingin berjalan pelan,
menikmati langkah demi langkah.
Aku ingin bercanda dengan cucu.
Aku ingin memandang mata istriku
dan bilang terima kasih
karena dia bertahan mendampingi.
Aku ingin punya harapan
meski kecil.
Meski sederhana.
Tolong, Tuhan,
jangan cabut harapan dari dadaku.
Karena tanpa harapan
aku hanya menunggu kematian.

Aku mohon juga, Tuhan,
ajarkan aku menolak hal-hal
yang memicu ketakutanku.
Biarkan aku bijak menutup telinga
dari berita menakutkan.
Menolak obrolan yang bikin cemas.
Menjauh dari orang yang menertawakan kelemahanku.
Karena aku lemah,
aku tak butuh racun.
Aku butuh obat.
Aku butuh ketenangan.
Aku butuh kasih.

Ajarkan aku merawat diri.
Bukan karena aku egois,
tapi karena aku ingin tetap ada
untuk mereka yang kucintai.
Ajarkan aku berkata “tidak”
kalau tubuhku lelah.
Ajarkan aku bilang “cukup”
kalau beban ini terlalu berat.
Ajarkan aku mendengar bisikan tubuhku
sebelum ia berteriak
dengan cara yang menyakitkan.

Tuhan,
aku juga minta satu hal lagi:
kelilingi aku dengan orang-orang baik.
Yang menegur tanpa merendahkan.
Yang mengingatkan tanpa menghina.
Yang memelukku saat aku takut.
Aku mohon jauhkan orang-orang
yang menertawakan kelemahanku.
Yang meremehkan sakitku.
Yang membuat aku menutup diri.
Karena aku butuh dukungan.
Aku bukan robot.
Aku manusia.
Dan manusia butuh manusia lain
untuk bertahan.

Ajarkan aku membangun rutinitas
yang menenangkan.
Bangun pagi dengan syukur.
Berjalan pelan di halaman.
Merawat bunga.
Membersihkan meja.
Makan bersama keluarga.
Mendengarkan musik lembut.
Menulis di sore hari.
Berdoa sebelum tidur.
Biarkan hidupku teratur.
Karena kekacauan hanya memicu cemas.

Tuhan,
aku tahu Kau tidak jahat.
Stroke ini bukan hukuman.
Bukan kutuk.
Bukan kebencian-Mu padaku.
Mungkin ini cara-Mu menegur.
Mengingatkan.
Membuat aku berhenti
dan melihat hidup dengan lebih dalam.
Kalau ini pelajaran,
tolong sabari aku.
Aku murid yang bodoh.
Yang lambat memahami.
Yang sering protes.
Yang banyak menuntut.
Ampuni aku, Tuhan.
Dan tuntun aku.
Jangan biarkan aku berjalan sendiri.

Aku mohon juga untuk keluarga.
Jangan biarkan mereka patah
melihat aku menderita.
Berikan mereka ketabahan
kalau suatu hari aku kambuh lagi.
Ajarkan mereka apa yang harus dilakukan.
Beri mereka ketenangan
agar tidak panik.
Dan kalau mereka lelah merawatku,
ingatkan mereka:
aku pun tidak ingin merepotkan.
Satukan hati kami dalam cinta
yang tidak menuntut balas.

Aku mohon untuk para dokter,
perawat, fisioterapis,
yang Kau utus membantuku.
Berkatilah mereka dengan kesabaran.
Beri mereka ilmu yang benar.
Jadikan mereka tangan-Mu
yang merawat luka-lukaku.
Dan ingatkan aku untuk menghargai usaha mereka.

Aku mohon untuk semua penyintas stroke
yang saat ini mungkin menangis dalam diam.
Yang takut kambuh.
Yang malu cerita.
Yang menahan nyeri sambil pura-pura tegar.
Rangkul mereka, Tuhan.
Bisikkan:
“Kamu tidak sendirian.”
Hibur hati mereka.
Bangkitkan harapan.
Karena aku tahu
ketakutan kami sama.
Dan hanya Engkau
yang bisa memberi damai sejati.

Akhirnya, Tuhan,
aku mohon:
jika Kau berkenan,
beri aku kesempatan lebih lama.
Bukan untuk menikmati dunia semata,
tapi untuk memperbaiki diri.
Untuk memeluk lebih banyak orang.
Untuk meminta maaf.
Untuk mengucap terima kasih.
Untuk hidup lebih layak sebagai manusia
yang Kau ciptakan.

Kalau waktuku tiba,
biarlah aku pergi dengan tenang.
Bukan dengan amarah.
Bukan dengan ketakutan.
Biarlah aku menutup mata
dengan doa di bibir:
“Terima kasih, Tuhan.
Aku sudah mencoba.
Aku sudah berusaha.
Aku berserah padamu.”

Amin.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)