Mengajak Anda Belajar dan Berbagi Bersama Saya
Oleh: Jeffrie Gerry
1. Ketika Hidup Tak Lagi Sama, Tapi Masih Berharga
Pernahkah Anda duduk sendirian di tepi ranjang rumah sakit, mendengarkan suara alat medis yang monoton, dan bertanya dalam hati: “Apakah ini akhir dari hidup saya seperti yang dulu saya kenal?”
Satu serangan stroke mengubah segalanya—gerak tubuh, cara bicara, cara berpikir, bahkan cara memandang hidup. Hal-hal kecil yang dulu saya abaikan, kini terasa seperti pencapaian besar: menggenggam sendok, mengucap kalimat utuh tanpa tersendat, bangun pagi tanpa rasa takut.
Namun dari keterbatasan itu, justru lahirlah satu hal yang dulu terlupakan: keinginan untuk belajar lagi, dan kerinduan untuk berbagi. Bukan karena saya tahu segalanya. Tapi justru karena saya sadar bahwa saya tak tahu banyak. Dan saya ingin memulai dari nol, bersama Anda.
2. Belajar Itu Tidak Harus Sempurna, Asal Tulus
Dulu, saya selalu ingin menulis saat saya benar-benar pulih, saat tangan saya kuat mengetik seperti dulu. Tapi hari-hari berlalu dan tubuh tak kunjung seperti dulu. Sampai suatu hari saya sadar, kesembuhan bukanlah kembalinya kondisi fisik, tapi bangkitnya semangat untuk hidup meski tak lagi sama.
Jadi saya mulai menulis. Dengan perlahan. Dengan banyak jeda. Dengan banyak kesalahan. Tapi juga dengan banyak hati.
Dan ternyata, dari keterbatasan itu justru muncul kekuatan. Karena ketika kita jujur pada diri sendiri, orang lain bisa merasakannya. Karena saat kita berbicara dari luka, orang lain mendengarnya dengan hati.
3. Berbagi Itu Tidak Harus Pintar, Asal Ikhlas
Saya bukan ahli. Saya bukan guru. Saya bahkan kadang merasa belum jadi murid yang baik dalam hidup ini. Tapi saya ingin berbagi. Bukan karena saya tahu jawabannya, tapi karena saya tahu bagaimana rasanya bertanya dan tidak menemukan teman seperjalanan.
Itu sebabnya saya membuka ruang ini—blog ini, tulisan ini—sebagai tempat belajar dan berbagi bersama. Tempat kita bisa bicara apa adanya. Tanpa pencitraan. Tanpa keharusan untuk mengesankan siapa-siapa.
4. Apa Saja yang Bisa Kita Pelajari?
-
Belajar menerima: bukan sebagai bentuk menyerah, tapi sebagai bentuk damai.
-
Belajar mendengar: karena kadang suara hati jauh lebih pelan dari suara dunia.
-
Belajar bergerak pelan: karena kecepatan bukan satu-satunya ukuran kemajuan.
-
Belajar menulis: sebagai cara untuk menyembuhkan diri sendiri.
-
Belajar memaafkan: terutama pada diri sendiri yang tak sempurna.
-
Belajar mencintai: bukan hanya orang lain, tapi juga bagian diri yang dulu ingin kita sembunyikan.
Dan yang terpenting: belajar bersama. Karena belajar sendirian itu berat, dan terkadang menakutkan. Tapi jika kita berjalan bersama, sekecil apa pun langkahnya, kita tetap melangkah.
5. Mengapa Saya Menulis Ini Untuk Anda?
Saya tidak punya solusi cepat. Tapi saya punya cerita. Saya punya keberanian untuk bangkit, meski sering jatuh lagi. Saya punya luka yang perlahan jadi pelajaran. Dan saya percaya, cerita saya bisa jadi cermin, bukan karena mirip, tapi karena kita semua manusia yang sedang belajar menerima dan berdamai.
6. Tidak Ada Guru di Sini, Hanya Teman Seperjalanan
Kalau Anda berharap menemukan tulisan dari seseorang yang serba tahu, Anda akan kecewa. Tapi kalau Anda ingin menemukan ruang hangat yang bisa jadi tempat istirahat sejenak dari dunia yang keras, maka mungkin tulisan ini akan berarti.
Saya percaya setiap orang punya sesuatu untuk dibagikan, tak peduli betapa sederhananya. Bahkan cerita tentang menyiram tanaman tiap pagi pun bisa menjadi refleksi. Bahkan pengalaman bangun dari kursi roda pun bisa jadi inspirasi.
Karena itu, saya ingin Anda ikut berbagi. Ceritakan pengalaman Anda, pelajaran Anda, keraguan Anda. Kita kumpulkan semua itu, bukan untuk membuat kesimpulan sempurna, tapi untuk melihat bahwa hidup tak harus dipahami sepenuhnya untuk tetap dijalani dengan harapan.
7. Bagaimana Kita Bisa Berbagi?
Tak harus lewat tulisan panjang. Bisa lewat komentar. Atau lewat email. Atau bahkan lewat doa diam-diam saat membaca tulisan ini. Karena berbagi bukan soal format, tapi soal niat.
Saya membayangkan blog ini bukan hanya milik saya, tapi juga milik Anda—yang ingin tumbuh, bangkit, belajar dan hidup dengan jujur. Tempat kita saling menguatkan, saling menyapa, saling mengingatkan bahwa hidup ini tetap bisa indah, meski tidak sempurna.
8. Ajakan dari Seorang yang Pernah Tak Bisa Menggerakkan Tangannya
Jika Anda merasa ingin menyerah, istirahatlah. Tapi jangan padamkan cahaya kecil dalam hati itu. Karena dari cahaya kecil itulah, kita bisa menerangi hari-hari yang gelap.
9. Penutup: Kita Masih Di Sini, dan Itu Sudah Cukup Untuk Memulai
Karena pada akhirnya, bukan gelar, bukan jabatan, bukan penampilan yang menyelamatkan kita saat badai datang—melainkan kasih, keberanian, dan kebersamaan.
Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke – Jeffrie Gerry.
Puisi Monolog: Belajar dan Berbagi Bersama-Mu, Tuhan
Tuhan,
hari ini aku duduk dalam diam
di antara rasa syukur dan luka yang belum sembuh
di antara langkah-langkah kecil yang kuanggap kemenangan
dan ketakutan-ketakutan kecil yang kadang menyelinap diam-diam.
Aku tidak sedang meminta mujizat besar,
aku hanya ingin berbicara kepada-Mu
dengan kata-kata yang mungkin terbata
tapi lahir dari dada yang penuh harapan.
Tuhan,
Engkau tahu,
hidupku tak lagi seperti dulu
gerak tubuhku lambat, kadang gemetar
namun entah bagaimana, aku justru merasa lebih hidup.
Karena kini,
aku tidak lagi tergesa-gesa
aku tidak lagi sibuk mengejar yang tak pasti
aku belajar—ya, aku belajar...
belajar menjadi manusia yang benar-benar manusia.
Tuhan,
dulu aku pikir berbagi hanya untuk mereka yang tahu banyak
aku pikir aku harus pandai dulu, harus kuat dulu
baru boleh bersuara.
Tapi kini aku mengerti
Engkau tidak menunggu aku sempurna
untuk mengizinkanku menjadi saluran berkat.
Aku yang masih belajar berdiri tegak
aku yang masih terbata merangkai kalimat
aku yang masih sering terdiam karena kelelahan
Engkau pakai juga, ya Tuhan,
untuk menyapa hati orang lain.
Tuhan,
ada luka yang belum sembuh
tapi di sela-selanya, tumbuh bunga kecil
bernama pengharapan.
Ada air mata yang masih turun diam-diam
tapi di baliknya, ada pelukan-Mu yang tak kelihatan
tapi nyata.
Terima kasih, Tuhan,
untuk rasa cukup di hari ini
untuk satu langkah yang lebih kuat dari kemarin
untuk satu kalimat yang bisa kutulis dengan sepenuh hati
meski mungkin tak sempurna.
Hari-hariku kini bukan lagi tentang mengejar
melainkan tentang hadir
hadir dengan sepenuh kesadaran
hadir dengan tubuh yang rapuh namun jujur
hadir dengan hati yang tak lagi ingin menjadi orang lain.
Tuhan,
ajar aku mencintai kehidupanku yang sekarang
bukan dengan keterpaksaan,
tapi dengan penerimaan yang tulus.
Jika aku tak bisa menari seperti dulu
maka izinkan aku berjalan dengan puisi
jika aku tak bisa berlari
biarkan aku menulis dengan pelan namun penuh makna
karena aku percaya, Tuhan,
Engkau hadir juga di dalam pelan
Engkau bicara juga lewat sunyi.
Tuhan,
aku ingin terus belajar
belajar menyebut nama-Mu bukan hanya dalam doa,
tapi dalam perbuatan
belajar mendengar bukan hanya suara orang
tapi suara jiwaku sendiri
yang kadang terlalu lama kupendam.
Ajari aku menulis bukan untuk dipuji
tapi untuk menyembuhkan
bukan untuk jadi yang pertama
tapi untuk menjadi nyata.
Karena aku lelah menjadi sempurna di mata dunia
aku lebih ingin menjadi nyata di hadapan-Mu
apa adanya
dengan seluruh luka dan cinta yang aku miliki.
Tuhan,
aku ingin berbagi
bukan karena aku tahu segalanya
tapi karena aku tahu bagaimana rasanya tersesat
dan butuh teman berjalan.
Tulisan-tulisan ini, Tuhan,
adalah ungkapan syukurku yang tak tahu cara lain
untuk berterima kasih karena aku masih di sini
masih bisa menghirup pagi
masih bisa memeluk orang yang kucintai
meski dengan tangan yang lemah
masih bisa mencintai diriku sendiri
meski dengan cara yang berbeda dari dulu.
Tuhan,
tak mudah menerima perubahan
tak mudah mengucapkan selamat tinggal
pada diriku yang lama
yang kuat, yang cepat, yang serba bisa.
Tapi Engkau sedang membentukku jadi baru, bukan?
bukan sekadar kuat di luar
tapi damai di dalam
bukan sekadar cepat berlari
tapi sabar menunggu proses-Mu.
Ajari aku untuk tidak membandingkan
ajari aku melihat hidup sebagai anugerah
bukan perlombaan.
Ajari aku berhenti menuntut diriku
dan mulai mendengarkan jiwaku.
Tuhan,
ada banyak hal yang belum kumengerti
tentang rencana-Mu
tentang makna dari semua ini
tentang mengapa aku—dan bukan yang lain—
harus melewati ini.
Tapi aku tidak ingin hanya sibuk bertanya
aku ingin percaya
aku ingin setia,
meski langkahku kadang tertatih
aku ingin terus berjalan ke arah-Mu
karena aku tahu
Engkau tidak pernah meninggalkanku,
meski aku sempat meninggalkan diriku sendiri.
Tuhan,
jika hari ini adalah satu-satunya hari yang aku punya
biarkan aku mengisinya dengan yang terbaik
dengan kata-kata yang jujur
dengan kasih yang nyata
dengan senyum yang mungkin sederhana
tapi lahir dari hati yang bersyukur.
Jika tulisan ini dibaca oleh seseorang yang sedang lelah
biarlah ia merasa ditemani
jika ada yang merasa putus asa
biarlah ia tahu bahwa harapan masih mungkin tumbuh
meski dari tanah yang paling gersang sekalipun.
Tuhan,
aku tidak tahu akan sampai kapan aku bisa seperti ini
tapi selagi aku bisa,
aku ingin terus menulis
aku ingin terus berbagi
aku ingin terus belajar
karena dalam setiap huruf yang kutoreh
ada bagian kecil dari jiwaku yang sedang berdoa.
Doa yang tidak selalu indah
tidak selalu puitis
tapi selalu tulus.
Tuhan,
terima kasih
karena Engkau izinkan aku melewati badai
bukan untuk menghancurkanku
tapi untuk membentukku menjadi lebih manusia.
Terima kasih
karena Engkau tidak menuntutku jadi sempurna
Engkau hanya memintaku untuk hadir
dan jujur.
Hari ini, Tuhan,
aku hadir.
Dengan seluruh keterbatasanku
dengan seluruh semangat yang masih tersisa
dengan cinta yang perlahan pulih
aku hadir.
Dan aku tahu, itu sudah cukup.
**
(Doa-puisi ini ditulis oleh Jeffrie Gerry, berdasarkan pengalaman pribadi setelah pemulihan dari stroke. Ia adalah suara hati yang jujur—bukan dari kepintaran, tapi dari keberanian untuk hidup kembali.)