Bagaimana Saya Belajar Jalan Lagi Setelah Stroke
Saya ingin membuka tulisan ini dengan sejujurnya mungkin:
Saya tidak pernah membayangkan suatu hari saya harus belajar berjalan lagi seperti anak kecil.
Dulu saya bisa melangkah cepat, kadang terburu-buru.
Saya tidak pernah memikirkan kaki saya.
Melangkah itu otomatis.
Biasa.
Seperti bernapas.
Sampai suatu hari stroke membuat semuanya hilang.
Bangun dari tempat tidur pun tidak bisa.
Berdiri terasa mustahil.
Kaki seperti mati.
Hati juga hampir ikut mati.
Saya tahu ada banyak orang yang pernah atau sedang merasakan hal yang sama.
Dan saya tahu betapa putus asanya rasanya.
Karena itulah saya menulis ini.
Bukan untuk pamer berhasil.
Bukan untuk bilang “ini cara yang paling benar.”
Tapi untuk bercerita sejujurnya.
Bagaimana saya—yang dulu tidak bisa bangun—akhirnya bisa melangkah lagi.
Walau tidak sempurna.
Walau pelan.
Tapi itu langkah saya sendiri.
Dan saya berharap, tulisan ini bisa membantu, menghibur, atau memberi semangat kepada siapa pun yang sedang belajar berjalan lagi—atau mendampingi orang yang belajar berjalan lagi setelah stroke.
Bab 1: Pukulan Pertama – Kesadaran Saya Tidak Bisa Bangun
Stroke itu datang seperti pencuri di malam hari.
Tidak diundang.
Tidak disangka.
Dan tiba-tiba mengambil banyak hal.
Saat sadar di rumah sakit, hal pertama yang saya sadari adalah tubuh saya berat.
Sebelah kaki saya seperti bukan milik saya.
Dokter bilang “hemiparesis.”
Orang awam bilang “lumpuh sebelah.”
Saya bilang “kiamat kecil.”
Saya menatap kaki saya.
Saya suruh dia bergerak.
Dia diam saja.
Saya marah.
Saya menangis.
Saya bilang: “Kenapa Tuhan?”
Dan di situlah saya sadar: langkah pertama bukan belajar jalan.
Langkah pertama adalah menerima kenyataan.
Saya tidak bisa belajar jalan kalau saya menyangkal bahwa saya lumpuh.
Saya harus berkata pada diri sendiri:
✅ “Aku tidak bisa jalan sekarang.”
✅ “Tapi aku ingin bisa.”
Dan itu lebih susah daripada yang orang bayangkan.
Karena bukan kaki saja yang harus diobati.
Tapi juga hati.
Bab 2: Merelakan Diri Ditolong
Saya dulu orang yang bangga bisa mandiri.
Bawa belanjaan sendiri.
Naik motor sendiri.
Tidak mau merepotkan.
Tiba-tiba saya harus disuapi.
Dimandikan.
Dibalikkan di kasur.
Didorong pakai kursi roda.
Awalnya saya malu.
Saya kesal pada diri sendiri.
Saya marah pada istri yang ingin membantu.
Saya bilang: “Biarin aku coba sendiri!”
Padahal saya malah jatuh.
Pelajaran besar yang saya dapat:
✅ Belajar jalan itu bukan tentang kehebatan.
✅ Tapi tentang kerendahan hati untuk mau dibantu.
Fisioterapis datang ke rumah sakit.
Dia bilang:
“Pak, kita mulai dari bangun duduk dulu ya.”
Saya bilang:
“Saya mau berdiri.”
Dia bilang:
“Kita pelan-pelan. Duduk dulu kuat.”
Saya mau protes.
Tapi saya sudah tidak bisa apa-apa.
Jadi saya menurut.
Dan di situlah permulaan.
Saya merelakan diri dibantu.
Karena kadang satu-satunya cara maju adalah dengan mengakui bahwa saya tidak bisa sendiri.
Bab 3: Bangun Duduk Adalah Kemenangan
Fisioterapi hari pertama itu lebih seperti penghinaan pada ego saya.
Saya kira belajar jalan itu langsung berdiri.
Ternyata saya bahkan tidak bisa duduk tegak.
Otot perut lemah.
Punggung sakit.
Kepala pusing.
Keringat dingin.
Tapi fisioterapis tersenyum dan bilang:
“Bagus Pak. Hari ini bisa duduk 5 menit. Besok 6 menit ya.”
Saya ingin marah.
Tapi saya tidak bisa bantah.
Saya memang lemah.
Saya memang harus mulai dari 5 menit.
Hari berikutnya, 6 menit.
7 menit.
10 menit.
Sampai akhirnya saya bisa duduk di tepi ranjang tanpa dipegangi.
Dan saya menangis saat itu.
Karena saya sadar:
Duduk itu juga langkah.
Itu juga bagian dari “belajar jalan.”
Bab 4: Latihan Menggerakkan Jari dan Kaki
Setelah duduk, tantangan berikutnya adalah membuat kaki saya bergerak lagi.
Fisioterapis bilang:
✅ “Angkat jari kaki Pak.”
✅ “Dorong tumit ke depan.”
✅ “Tarik ke belakang.”
Kedengarannya remeh.
Bayi bisa melakukannya.
Saya tidak bisa.
Hari pertama: gagal.
Hari kedua: jari gemetar tapi tidak terangkat.
Hari ketiga: ada gerakan sedikit.
Hari keempat: lebih jelas.
Saya belajar sabar.
Saya belajar merayakan kemajuan kecil.
Karena bagi saya yang lumpuh, 1 milimeter gerak adalah kemenangan.
Saya bilang pada kaki saya:
“Ayo, kita bersahabat lagi.”
Saya memijat.
Saya mengelus.
Saya meminta maaf pada tubuh saya.
Karena selama ini saya abaikan kesehatannya.
Bab 5: Berdiri dengan Pegangan
Saat saya bisa menggerakkan kaki lebih mantap, fisioterapis bilang:
“Hari ini kita coba berdiri.”
Saya takut.
Jantung saya berdebar.
Saya bilang:
“Nanti jatuh.”
Dia bilang:
“Saya pegang, Pak.”
Kami mulai.
Saya dorong badan ke depan.
Kaki saya gemetar.
Tangan mencengkeram walker.
Perawat di samping kiri-kanan.
Fisioterapis di depan.
Perlahan saya berdiri.
Pendek sekali.
Hitungan 3 detik.
Lalu duduk.
Tapi saya menangis.
Karena untuk pertama kalinya setelah stroke, saya tidak lagi hanya di kasur.
Hari berikutnya, 5 detik.
7 detik.
10 detik.
Sampai saya bisa berdiri satu menit sambil pegang walker.
Itu bukan sekadar latihan fisik.
Itu latihan iman.
Iman pada proses.
Iman pada Tuhan.
Iman pada diri sendiri yang tidak mau menyerah.
Bab 6: Melangkah Satu Dua
Setelah bisa berdiri, fisioterapis bilang:
“Sekarang kita coba langkah.”
Saya ingin menyerah.
Takut jatuh.
Takut malu.
Dia bilang:
“Kalau mau jalan, harus rela jatuh.”
Saya pegang walker.
Langkah kanan.
Kaki kiri nyeret.
Saya ingin berhenti.
Dia bilang:
“Bagus Pak! Lagi.”
Saya ulang.
Sampai kaki saya mulai belajar ritme.
Langkah kanan.
Langkah kiri.
Jelek sekali.
Jauh dari sempurna.
Tapi itu LANGKAH.
Dan bagi orang stroke, langkah itu bukan hal kecil.
Itu simbol harapan.
Bukti kita belum kalah.
Bab 7: Terjatuh dan Bangkit Lagi
Saya tidak selalu sukses.
Kadang kaki saya lemas.
Saya jatuh di atas matras.
Kadang saya meringis kesakitan.
Air mata keluar.
Saya bilang:
“Sudah lah, saya pakai kursi roda selamanya.”
Fisioterapis menepuk pundak saya:
“Boleh menyerah hari ini. Tapi coba lagi besok.”
Dan saya coba.
Hari demi hari.
Minggu demi minggu.
Saya jatuh lagi.
Tapi bangkit lagi.
Karena saya tahu setiap jatuh membuat saya lebih mengerti keseimbangan.
Bab 8: Melatih Pikiran
Saya juga belajar satu hal penting:
Belajar jalan itu bukan cuma fisik.
Tapi juga mental.
Kalau saya takut, kaki saya kaku.
Kalau saya gugup, langkah saya berat.
Kalau saya marah atau sedih, tenaga saya hilang.
Jadi saya belajar menenangkan pikiran.
✅ Berdoa sebelum latihan.
✅ Tarik napas dalam.
✅ Bayangkan kaki saya sehat.
✅ Katakan pada diri sendiri: “Aku bisa.”
Saya menulis jurnal.
Saya mencatat kemajuan.
Saya menulis rasa syukur.
Itu bukan hal sepele.
Karena ketenangan pikiran membuat latihan lebih efektif.
Bab 9: Dukungan Keluarga
Saya tidak bisa melakukan ini sendiri.
Istri saya sabar memijat kaki saya setiap malam.
Anak saya mendukung saya latihan.
Teman gereja mendoakan saya.
Kadang saya marah pada mereka.
Saya bilang:
“Kalian tidak tahu rasanya!”
Mereka menangis.
Tapi mereka tidak pergi.
Mereka tetap di samping saya.
Saya belajar meminta maaf.
Saya belajar berterima kasih.
Karena mereka bukan beban.
Mereka adalah alasan saya ingin berjalan lagi.
Bab 10: Belajar Jalan Tanpa Walker
Akhirnya saya bisa jalan pakai walker lebih lancar.
Fisioterapis bilang:
“Kita coba tongkat satu.”
Saya protes:
“Nanti jatuh.”
Dia bilang:
“Kita coba dekat dinding ya.”
Langkah pertama dengan tongkat seperti kembali ke nol.
Lebih sulit.
Tapi saya sudah tahu rasanya gagal dan bangkit.
Jadi saya coba.
Pelan.
Gemetar.
Tapi maju.
Sampai akhirnya saya bisa pakai tongkat sendiri ke kamar mandi.
Ke ruang tamu.
Keluar rumah.
Bab 11: Merayakan Setiap Kemajuan
Saya tidak pernah kembali 100% seperti dulu.
Saya masih pincang sedikit.
Kadang kaki masih berat.
Kalau capek, saya pakai tongkat lagi.
Tapi saya bersyukur.
Karena saya bisa berjalan.
Bisa berdiri di gereja.
Bisa memeluk cucu sambil berdiri.
Bisa keluar rumah lihat matahari.
Saya belajar tidak membandingkan diri dengan orang sehat.
Saya hanya membandingkan dengan diri saya yang dulu terbaring.
Dan setiap langkah adalah anugerah.
Bab 12: Mengucap Syukur pada Tuhan
Saya tidak bisa menulis cerita ini tanpa mengakui satu hal:
Saya tidak kuat sendiri.
Saya percaya Tuhan menolong saya lewat tangan fisioterapis.
Lewat keluarga.
Lewat orang yang mendoakan.
Saya menangis saat bisa berdiri.
Saya berdoa:
“Terima kasih Tuhan. Aku tahu Engkau masih memberiku kesempatan.”
Dan sekarang saya ingin menggunakan sisa langkah saya untuk hal baik.
Untuk menolong.
Untuk bersyukur.
Untuk memuliakan Tuhan.
Penutup
Belajar jalan lagi setelah stroke itu seperti dilahirkan kembali.
Malu.
Sakit.
Lambat.
Penuh tangis.
Tapi juga penuh keajaiban.
Penuh pelajaran tentang sabar.
Tentang rendah hati.
Tentang kasih.
Dan kalau kamu yang membaca ini sedang dalam proses yang sama, aku mau bilang:
✅ Jangan putus asa.
✅ Jangan malu meminta bantuan.
✅ Rayakan setiap kemajuan.
✅ Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain.
✅ Percayalah Tuhan masih memegang tanganmu.
Karena setiap langkahmu—sekecil apa pun—adalah bukti kamu belum kalah.
Kamu masih hidup.
Kamu masih bisa maju.
Dan aku doakan kamu juga bisa merasakan kemenangan kecil yang aku rasakan.
Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke: Jeffrie Gerry.